Satu lagi atlet Kota Malang yang menorehkan tinta emas di ajang nasional. Kali ini diukir Teguh Dwiyono pada ajang Iko Nakamura Indonesia di Wisma Kartini, Bandung, 26–27 Oktober 2019.
Di final, dia menang TKO (technical knockout) atas lawannya, Iqbal Khamdani. Dia serius di olahraga ini karena pernah tak tega ada teman karibnya yang kerap di-bully tapi tidak berani membalas.
ULFA AFRIAN
Senyumnya terlihat mengembang saat Jawa Pos Radar Malang menemuinya di Politeknik Negeri Malang (Polinema). Dia menceritakan, olahraga bela diri karate sudah menjadi hobinya sejak SD.
Namun, dia lebih serius ketika duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Terlebih ada dukungan dari keluarga yang juga dari kalangan atlet olahraga keras. ”Karena Bapak dulu juga hobi olahraga tinju,” imbuhnya.
Banya motivasi saat itu yang mengharuskan dia kian semangat berlatih karate. Selain tak tega ada teman akrabnya yang hanya diam saja karena tak berani melawan setelah di-bully, dia juga terinspirasi film berjudul Ongbak.
Dalam film tersebut diceritakan ada pemuda yang mulai tertarik di dunia karate karena ingin membalas dendam.
Sebab, sang pemuda itu dulunya juga kerap diejek rekannya. ”Tapi, saya bukan untuk membalas dendam, hanya agar bisa menyelamatkan diri sendiri dan orang lain yang akan berbuat jahat saja,” ucap pria kelahiran 1998 tersebut.
Mahasiswa Polinema ini menambahkan, kemampuannya tertempa kian matang kala masuk Polinema. Dia mendapat latihan keras dari pelatih. Sore hari wajib latihan fisik seperti berlari.
Baru pada pukul 19.30, latihan teknik yang diawasi langsung pelatih. Secara fisik dia merasa kecapekan. Apalagi di luar karate dia punya kewajiban sebagai mahasiswa yang harus mengerjakan banyak tugas.
Bahkan, saat ini dia juga sedang fokus mengerjakan skripsi (tugas akhir). ”Jadi, di sini saya juga belajar bagaimana membagi waktu, antara kewajiban dan melakukan hobi biar bisa seimbang,” tutur Teguh.
Kendala selama ini, imbuh Teguh, dia repot ketika akan berangkat latihan di kantor KNPI Kota Malang, Jalan Kawi. Sebab, dia tidak punya kendaraan sehingga setiap kali akan latihan selalu bingung kendaraan untuk berangkat dari kosnya di sekitar Polinema.
”Saya memang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, jadi ya harus minjam motor kalau mau ke mana-mana,” keluhnya. Bahkan, dia mengaku, dirinya bisa lanjut kuliah pun karena ada program bidikmisi.
Namun, dia masih beruntung. Meski dari kularga dengan ekonomi pas-pasan, tapi dia masih bisa kuliah di kampus ternama dan negeri, yaitu Polinema. Ini juga berkat beasiswa bidikmisi karena prestasinya di karate.
Dia bersyukur, berkat latihan kerasnya dia bisa juara di ajang nasional. Sebelumnya, dia juga juara di Full Contact Karate Championship 2019 pada 23 Februari di JCC, Jakarta. Lalu pada Juli 2019, dia juga meraih runner-up di Jakarta.
Khusus pada ajang terakhir, dia digembleng sangat keras selama satu bulan setengah. Tidak heran jika dia bisa membawa pulang medali emas dalam kelas berat badan 55–65 kg untuk kategori full body contact. Dia berhasil menjatuhkan delapan karakteka dari beberapa daerah di Indonesia.
Mahasiswa jurusan mesin itu berharap, dengan hobinya ini dia bisa lebih bisa mengontrol emosinya. Sebab, bagi dia, setelah aktif di dunia karate, dirinya lebih bisa menjaga emosi.
Bahkan, dia mengaku, saat melihat orang berantem dirinya malah melerai. Dia juga berharap, ke depannya bisa menang di kejuaraan internasional.
Kemenangannya ini tidak hanya membuat dirinya senang, tapi juga berhasil membuat pelatihnya bangga terhadap dirinya. Hal tersebut diakui Iskanto, dewan guru karate mushikawa.
Menurut dia, ada kepuasan batin tersendiri melihat kemenangan anak didiknya itu.
”Tidak mengecewakan karena apa yang saya ajarkan bisa bermanfaat, bahkan bisa mengharumkan nama perguruan yang dia geluti,” kata Iskanto.
Pewarta : *
Copy Editor : Dwi Lindawati
Penyunting : Abdul Muntholib