26.2 C
Malang
Thursday, 23 March 2023

Berharap Keadilan di Tingkat Banding

Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Bisa Surati Hakim

 

MALANG KOTA – Sidang tingkat pertama tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya telah selesai Kamis lalu (16/3). Tapi, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim kepada para terdakwa dirasa menyakiti keluarga para korban. Sebagian dari mereka berkumpul di gedung KNPI Jalan Kawi, Kota Malang, Jumat  sore (17/3), untuk mencari solusi.

Saat itu juga sedang dilakukan Diskusi Publik Usut Tuntas: Menyikapi Pasca-Sidang Putusan Tragedi Kanjuruhan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjadi narasumber dalam acara itu menyarankan agar korban menyurati majelis hakim.

Diskusi tersebut digagas Tim Gabungan Aremania (TGA). Sejatinya mereka juga mengundang pembicara dari Kompolnas, Ombudsman, Komnas HAM, dan kuasa hukum para terdakwa. Namun mereka tidak datang. Akhirnya, yang menjadi pembicara adalah Wakil Ketua LPSK Susilaningtias SH MH dan anggota TGA Ahmad Agus Muin SH.

Seluruh pihak yang hadir dalam forum tersebut mempertanyakan apa yang menjadi dasar hakim PN Surabaya memberikan vonis ringan kepada lima terdakwa. Yang disoroti penuh adalah putusan untuk para mantan anggota kepolisian. Ada yang hanya dihukum 1,5 tahun penjara, bahkan dua lainnya divonis bebas.

Dalam forum itu juga dibeberkan beberapa dugaan intimidasi yang dilakukan oknum polisi kepada keluarga korban jauh sebelum sidang dimulai. Hal itu justru menambah luka. Tak terkecuali bagi Rini Hanifah, ibu korban tewas Agus Triansyah asal Pasuruan.

”Beberapa kali oknum polisi datang ke saya untuk pembuatan video ucapan terima kasih kepada Kapolda dalam pengusutan perkara ini. Saya menolak, tapi mereka bilang saya harus ikhlas karena ini takdir,” ungkap dia dalam sesi tanya jawab.

Rini juga menangis kala menceritakan kondisi dirinya yang ditinggal anaknya. Sampai kini, dia masih meyakini jika anaknya telah dibunuh karena gas air mata. ”Maling ayam saja dihukum enam tahun, mencuri pisang satu sampai dua tahun. Kenapa yang membunuh anak saya hanya satu setengah tahun?” tanya dia dengan penuh amarah.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias SH MH menyampaikan bahwa pertimbangan dalam putusan hakim tidak memasukkan dampak tragedi yang menewaskan 135 orang. Dia lantas menyebut ada satu cara yang dapat ditempuh korban. ”Membuat surat kepada majelis hakim apabila perkara ini naik banding,” papar dia. Hal itu dapat juga dilakukan bila laporan model B (laporan korban) naik sampai ke persidangan.

Susi lantas menyebut istilah victim impact statement atau membuat surat ke majelis hakim soal keadaan korban atau keluarganya setelah terjadinya tindak pidana. “Tulis saja kondisi saya seperti ini, suami saya seperti ini, setelah tragedi ini. Harapannya, surat tersebut menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menentukan putusan di tingkat banding,” imbuh dia.

Surat menyurat ke hakim semacam itu memang kurang lazim dilakukan di Indonesia. Tapi, Susi mengatakan hal tersebut dapat dilakukan. Bahkan dalam beberapa kasus berhasil. LPSK juga siap untuk membantu korban.

Hal senada juga dikatakan anggota TGA Ahmad Agus Muin. Di satu sisi, dia tetap berharap jaksa penuntut umum (JPU) akan mengajukan banding untuk semua perkara. “Langkah lain adalah mengejar laporan model B. Kami juga meneruskan laporan soal etik profesi Polri, dan laporan di Ombudsman,” ujar dia. (biy/fat)

 

MALANG KOTA – Sidang tingkat pertama tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya telah selesai Kamis lalu (16/3). Tapi, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim kepada para terdakwa dirasa menyakiti keluarga para korban. Sebagian dari mereka berkumpul di gedung KNPI Jalan Kawi, Kota Malang, Jumat  sore (17/3), untuk mencari solusi.

Saat itu juga sedang dilakukan Diskusi Publik Usut Tuntas: Menyikapi Pasca-Sidang Putusan Tragedi Kanjuruhan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjadi narasumber dalam acara itu menyarankan agar korban menyurati majelis hakim.

Diskusi tersebut digagas Tim Gabungan Aremania (TGA). Sejatinya mereka juga mengundang pembicara dari Kompolnas, Ombudsman, Komnas HAM, dan kuasa hukum para terdakwa. Namun mereka tidak datang. Akhirnya, yang menjadi pembicara adalah Wakil Ketua LPSK Susilaningtias SH MH dan anggota TGA Ahmad Agus Muin SH.

Seluruh pihak yang hadir dalam forum tersebut mempertanyakan apa yang menjadi dasar hakim PN Surabaya memberikan vonis ringan kepada lima terdakwa. Yang disoroti penuh adalah putusan untuk para mantan anggota kepolisian. Ada yang hanya dihukum 1,5 tahun penjara, bahkan dua lainnya divonis bebas.

Dalam forum itu juga dibeberkan beberapa dugaan intimidasi yang dilakukan oknum polisi kepada keluarga korban jauh sebelum sidang dimulai. Hal itu justru menambah luka. Tak terkecuali bagi Rini Hanifah, ibu korban tewas Agus Triansyah asal Pasuruan.

”Beberapa kali oknum polisi datang ke saya untuk pembuatan video ucapan terima kasih kepada Kapolda dalam pengusutan perkara ini. Saya menolak, tapi mereka bilang saya harus ikhlas karena ini takdir,” ungkap dia dalam sesi tanya jawab.

Rini juga menangis kala menceritakan kondisi dirinya yang ditinggal anaknya. Sampai kini, dia masih meyakini jika anaknya telah dibunuh karena gas air mata. ”Maling ayam saja dihukum enam tahun, mencuri pisang satu sampai dua tahun. Kenapa yang membunuh anak saya hanya satu setengah tahun?” tanya dia dengan penuh amarah.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias SH MH menyampaikan bahwa pertimbangan dalam putusan hakim tidak memasukkan dampak tragedi yang menewaskan 135 orang. Dia lantas menyebut ada satu cara yang dapat ditempuh korban. ”Membuat surat kepada majelis hakim apabila perkara ini naik banding,” papar dia. Hal itu dapat juga dilakukan bila laporan model B (laporan korban) naik sampai ke persidangan.

Susi lantas menyebut istilah victim impact statement atau membuat surat ke majelis hakim soal keadaan korban atau keluarganya setelah terjadinya tindak pidana. “Tulis saja kondisi saya seperti ini, suami saya seperti ini, setelah tragedi ini. Harapannya, surat tersebut menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menentukan putusan di tingkat banding,” imbuh dia.

Surat menyurat ke hakim semacam itu memang kurang lazim dilakukan di Indonesia. Tapi, Susi mengatakan hal tersebut dapat dilakukan. Bahkan dalam beberapa kasus berhasil. LPSK juga siap untuk membantu korban.

Hal senada juga dikatakan anggota TGA Ahmad Agus Muin. Di satu sisi, dia tetap berharap jaksa penuntut umum (JPU) akan mengajukan banding untuk semua perkara. “Langkah lain adalah mengejar laporan model B. Kami juga meneruskan laporan soal etik profesi Polri, dan laporan di Ombudsman,” ujar dia. (biy/fat)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru