RADAR MALANG – Penyanyi dangdut Rhoma Irama menggugat Sandi Record sebesar Rp 1 miliar terkait royalti lagu miliknya. Namun gugatan hak cipta tersebut ditolak pada persidangan yang digelar di Pengadilan Niaga Surabaya.
Majelis hakim yang diketuai Dewa Ketut Kartana menganggap Sandi Record tidak melakukan pelanggaran hak cipta lagu-lagu milik Raja Dangdut tersebut.
”Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,’’ ujar hakim Dewa saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Niaga Surabaya, Senin (12/4).
Majelis hakim berpendapat, gugatan hak cipta Rhoma Irama tidak beralasan hukum. Pasalnya, PT Sandi Record dinilai sudah membayar izin pakai lagu senilai Rp 533 juta. Rp 8 juta dibayarkan kepada Imron Sadewo, Rp 375 juta kepada Yanti Mala, dan Rp 150 juta kepada Rhoma Irama. Dengan begitu, tidak ada pelanggaran hak cipta yang dilakukan Sandi.
”Oleh karena gugatan penggugat tidak beralasan hukum, maka harus ditolak,” kata hakim.
Pembayaran Rp 533 juta dari Sandi Record kepada pihak Rhoma itu untuk izin pakai 72 lagu. Harga lagu, rata-rata Rp 7,5 juta per paket yang berisi 10 lagu. Lagu-lagu itu lantas diproduksi dan diunggah PT Sandi Record ke YouTube. Pembayaran tersebut diselesaikan Sandi sejak 2007 hingga 2011. Sebelum Sandi memroduksi dan mengunggahnya di YouTube.
Pengacara Hak Cipta Rhoma Irama, Hulviam Pratama, yang hadir di persidangan belum dapat berkomentar ketika dikonfirmasi seusai sidang. Dia harus berkoordinasi dengan timnya dan belum memastikan apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.
”Saya belum dapat memberikan komentar,” katanya.
Sementara itu, Rachmat Idisetyo, Kuasa Hukum Hak Cipta PT Sandi Record, mengaku bersyukur dengan putusan majelis hakim. Menurut dia, majelis hakim sudah memberikan putusan yang adil.
”Saya bersyukur hakim sudah memberikan putusan yang adil,” ujar pria yang mengaku sebagai penggemar berat Rhoma Irama ini.
Secara pribadi, Rachmat Idisetyo mengaku mengalami dilema. Pasalnya, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengelola Karaoke Keluarga (IPKK) Malang ini berhadapan dengan idolanya namun dalam kondisi yang tidak ideal. Kendati demikian, ia berupaya tetap profesional. Rachmat menegaskan, pengetahuan dan pemahaman tentang hak cipta harus diluruskan.
“Permasalahan ini harus dipahami publik secara luas sebagai pembelajaran, khususnya para pegiat industri musik supaya tidak terulang kembali kejadian serupan dikemudian hari,” tegas dia.
Rachmat menyebut, UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada dasarnya sudah bagus dan lengkap. Namun permasalahannya, terdapat kekurangan dalam hal peraturan pelaksana yang ada di peraturan Pemerintah maupun Menteri, dalam hal ini adalah Kemenkumham.
“UU ini mengalami banyak multitafsir terkait hak cipta. Dalam hal ini contohnya fiksasi atau sering disebut mastering pada label musik,” jelas alumni S1 Ilmu Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya itu.
Fiksasi yang tertulis di UU Hak Cipta adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya yang dapat dilihat, didengar, digandakan atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
“Perbedaannya, dari pihak Rhoma Irama mengatakan jika Sandi Record telah merekam atau membuat konten fiksasi atas VCD maka masternya hanya diperbolehkan untuk VCD tidak boleh digunakan untuk kegiatan lainnya,” jelas pria yang pernah menjabat sebagai General Manager Asosiasi Penyalur & Pengusaha Rekaman Indonesia (APPRI) ini.
Rhoma sebelumnya menggugat PT Sandi Record di Pengadilan Niaga Surabaya. Sandi dianggap sudah melanggar hak cipta karena memproduksi dan mengunggah lagu-lagu ciptaan Rhoma ke YouTube tanpa izin. Rhoma merasa tidak pernah memberikan izin untuk 30 lagu yang diunggah Sandi ke YouTube.
Rhoma juga merasa Sandi tidak membayar lagu-lagu tersebut sejak diunggah dua tahun lalu. Memang ada uang dari Sandi yang masuk ke rekening Rhoma, tetapi itu untuk hal lain, bukan untuk izin lagu-lagu tersebut.
Pewarta: Inifia