21.8 C
Malang
Saturday, 25 March 2023

Me Time di Tengah Pandemi, Ampuh Cegah Risiko Masalah Psikologis

Bak pinang dibelah dua, kesehatan mental dengan kesehatan fisik tiada bedanya. Sama-sama perlu dijaga. Apalagi pada masa pandemi seperti ini.

DI laman website Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dinyatakan, selama lima bulan pandemi, masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17–29 tahun dan lebih dari 60 tahun. Yang paling banyak berusia lebih dari 60 tahun sebesar 68,9 persen.

Kemudian, kelompok usia 20–29 tahun merupakan kedua terbanyak yang mengalami masalah psikologis, yaitu 66,3 persen. Dari 4.010 swaperiksa, hasilnya 1.725 swaperiksa depresi. Beberapa masalah psikologis yang muncul di era pandemi, antara lain, 68 persen cemas, 67 persen depresi, dan 77 persen trauma psikologis.

Dalam acara Caring for Career pada 15 Agustus lalu, dr Nalini Muhdi SpKJ (K) FISCM mengatakan, tenaga kesehatan masuk dalam kelompok yang paling tinggi rentan stres. Studi mengenai dampak Covid-19 pada nakes menunjukkan tingkat distres dan burnout tinggi (72 persen), depresi (50 persen), ansietas (45 persen), dan insomnia (34 persen).

Nalini menyebutkan, manajemen stres yang baik sangat diperlukan agar tetap dapat berpikir jernih dan merasa sejahtera. Dengan demikian, lanjut dia, mereka tetap mampu produktif dalam bekerja. ”Kalau faktor pemicunya ada beberapa. Seperti, hal ambigu yang belum jelas, sesuatu yang baru terkait Covid-19, dan ketidakpastian kondisi sekarang belum tahu kapan berakhirnya,” tuturnya.

Menurut Nalini, stres itu respons adaptif individu pada berbagai tekanan atau tuntunan eksternal. Stres dalam proporsi yang cukup sangat penting dalam kehidupan manusia. Dia menyatakan, tanpa stres hidup akan terasa membosankan dan tidak bisa maju.

Ada beberapa teknik merawat diri supaya terhindar dari kondisi stres atau masalah psikologis lain. Antara lain, batasi jam kerja tidak lebih dari 8–12 jam, bekerja dengan tim dan batasi bekerja sendirian, boleh kok me time dengan menulis buku harian, bicarakan dengan keluarga atau teman, hingga lakukan teknik pernapasan. ”Jangan lupa berdoa untuk menenteramkan jiwa,” terang Nalini.

Sementara itu, dr Roni Subagyo SpKJ (K) menyebutkan, ada beberapa tantangan yang dihadapi pada masa pandemi. Tak terkecuali untuk nakes. Mulai tuntutan layanan yang superketat, menyesuaikan dengan rekan kerja, hingga merasa reward dan risiko tidak sesuai. ”Ketakutan tentang terinfeksi serta takut tertular juga cukup memengaruhi dan menantang,” terangnya.

DOS AND DON’TS
Ada beberapa hal yang bisa menjadi rekomendasi untuk dilakukan dan tidak agar terhindar dari burn out di masa pandemi. Apa saja itu?

DOS
– Istirahat pada waktunya. Kalau sudah merasa capek dan overtime buat bekerja kemudian waktunya untuk istirahat, mending dipakai istirahat. Matikan gawai. Jangan tunggu nanti-nanti dulu deh. Kasihan tubuh dan pikiran kita.

– Wah, tapi waktu istirahatnya sedikit banget. Bagaimana dong? Tidak masalah kok. Istirahat sedikit tapi dengan frekuensi yang sering ternyata lebih baik. Jika dibandingkan dengan tidak istirahat sama sekali karena waktu istirahat sedikit.

– Me time. Mudah dikatakan, tapi banyak orang yang sulit merealisasikan. Apa yang disukai lakukan. Misalnya, nonton senyum Gong Yoo di salah satu drama Korea (drakor) bisa membuat happy, do it. Atau, recook dari resep-resep membuat lebih bahagia, lakukan.

– Membaca informasi itu penting. Namun, apabila hal tersebut justru kontradiktif terhadap diri sendiri mending kurangi. Contohnya, membaca update virus Covid malah membuat mental down, kurangi yuk. Tetap berpikiran positif. Itu lebih keren loh.

DON’TS

– Menekan diri sendiri. Sudah merasa capek, tapi tetap mau terus bekerja. Jangan ya.

– Menyampingkan kebutuhan diri hanya untuk pekerjaan. Semua yang ada dalam pikiran hanya bekerja dan bekerja. Sementara itu, tubuh dan pikiran sudah mengirimkan sinyal butuh istirahat.

Sumber: JawaPos.com

Bak pinang dibelah dua, kesehatan mental dengan kesehatan fisik tiada bedanya. Sama-sama perlu dijaga. Apalagi pada masa pandemi seperti ini.

DI laman website Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dinyatakan, selama lima bulan pandemi, masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17–29 tahun dan lebih dari 60 tahun. Yang paling banyak berusia lebih dari 60 tahun sebesar 68,9 persen.

Kemudian, kelompok usia 20–29 tahun merupakan kedua terbanyak yang mengalami masalah psikologis, yaitu 66,3 persen. Dari 4.010 swaperiksa, hasilnya 1.725 swaperiksa depresi. Beberapa masalah psikologis yang muncul di era pandemi, antara lain, 68 persen cemas, 67 persen depresi, dan 77 persen trauma psikologis.

Dalam acara Caring for Career pada 15 Agustus lalu, dr Nalini Muhdi SpKJ (K) FISCM mengatakan, tenaga kesehatan masuk dalam kelompok yang paling tinggi rentan stres. Studi mengenai dampak Covid-19 pada nakes menunjukkan tingkat distres dan burnout tinggi (72 persen), depresi (50 persen), ansietas (45 persen), dan insomnia (34 persen).

Nalini menyebutkan, manajemen stres yang baik sangat diperlukan agar tetap dapat berpikir jernih dan merasa sejahtera. Dengan demikian, lanjut dia, mereka tetap mampu produktif dalam bekerja. ”Kalau faktor pemicunya ada beberapa. Seperti, hal ambigu yang belum jelas, sesuatu yang baru terkait Covid-19, dan ketidakpastian kondisi sekarang belum tahu kapan berakhirnya,” tuturnya.

Menurut Nalini, stres itu respons adaptif individu pada berbagai tekanan atau tuntunan eksternal. Stres dalam proporsi yang cukup sangat penting dalam kehidupan manusia. Dia menyatakan, tanpa stres hidup akan terasa membosankan dan tidak bisa maju.

Ada beberapa teknik merawat diri supaya terhindar dari kondisi stres atau masalah psikologis lain. Antara lain, batasi jam kerja tidak lebih dari 8–12 jam, bekerja dengan tim dan batasi bekerja sendirian, boleh kok me time dengan menulis buku harian, bicarakan dengan keluarga atau teman, hingga lakukan teknik pernapasan. ”Jangan lupa berdoa untuk menenteramkan jiwa,” terang Nalini.

Sementara itu, dr Roni Subagyo SpKJ (K) menyebutkan, ada beberapa tantangan yang dihadapi pada masa pandemi. Tak terkecuali untuk nakes. Mulai tuntutan layanan yang superketat, menyesuaikan dengan rekan kerja, hingga merasa reward dan risiko tidak sesuai. ”Ketakutan tentang terinfeksi serta takut tertular juga cukup memengaruhi dan menantang,” terangnya.

DOS AND DON’TS
Ada beberapa hal yang bisa menjadi rekomendasi untuk dilakukan dan tidak agar terhindar dari burn out di masa pandemi. Apa saja itu?

DOS
– Istirahat pada waktunya. Kalau sudah merasa capek dan overtime buat bekerja kemudian waktunya untuk istirahat, mending dipakai istirahat. Matikan gawai. Jangan tunggu nanti-nanti dulu deh. Kasihan tubuh dan pikiran kita.

– Wah, tapi waktu istirahatnya sedikit banget. Bagaimana dong? Tidak masalah kok. Istirahat sedikit tapi dengan frekuensi yang sering ternyata lebih baik. Jika dibandingkan dengan tidak istirahat sama sekali karena waktu istirahat sedikit.

– Me time. Mudah dikatakan, tapi banyak orang yang sulit merealisasikan. Apa yang disukai lakukan. Misalnya, nonton senyum Gong Yoo di salah satu drama Korea (drakor) bisa membuat happy, do it. Atau, recook dari resep-resep membuat lebih bahagia, lakukan.

– Membaca informasi itu penting. Namun, apabila hal tersebut justru kontradiktif terhadap diri sendiri mending kurangi. Contohnya, membaca update virus Covid malah membuat mental down, kurangi yuk. Tetap berpikiran positif. Itu lebih keren loh.

DON’TS

– Menekan diri sendiri. Sudah merasa capek, tapi tetap mau terus bekerja. Jangan ya.

– Menyampingkan kebutuhan diri hanya untuk pekerjaan. Semua yang ada dalam pikiran hanya bekerja dan bekerja. Sementara itu, tubuh dan pikiran sudah mengirimkan sinyal butuh istirahat.

Sumber: JawaPos.com

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru