25.9 C
Malang
Wednesday, 22 March 2023

Kisah Para Mualaf Menjalani Kehidupan Barunya (22)

Ujian Terberat, Masih Banyak Ajakan untuk Murtad Lagi

Andai saja keimanan Rahma (nama samaran) pada Allah tidak kokoh, bisa jadi dia akan keluar lagi dari Islam (murtad). Karena setelah menjadi mualaf tahun 2016 lalu, banyak yang mendesaknya untuk kembali ke agama lama. Berikut penuturannya kepada wartawan Jawa Pos Radar Malang, Galih R. Prasetyo.

——————–

Bayi di gendongan Rahma tiba-tiba menangis. Namun, dengan cekatan, dia menenangkannya. Baru setelah itu, Rahma mulai menceritakan kisahnya menjadi mualaf.

Sembari menggendong sang anak, Rahma mengaku kalau keputusannya menjadi mualaf mendapatkan banyak tantangan. Salah satunya penolakan dari kedua orang tua dan saudaranya. Menurut dia, hal tersebut terjadi salah satunya karena keluarganya merupakan jemaat taat di agama non-Islam. Rahma pun juga mantan pengurus aktif dalam kegiatan keagamaan di agama yang dianut keluarganya. ”Sampai saat ini kedua orang tua belum menerima keputusan saya (masuk Islam),” jelasnya.

Stigma negatif keluarga besarnya pada Islam memengaruhi bapak dan ibunya. Bagi mereka, masuk Islam dianggap sebagai umat yang tersesat. Kondisi itu membuatnya saat pulang ke rumah orang tua acap kali tidak disambut dengan hangat.

Rahma harus rela diacuhkan, bahkan kerap diajak berdebat terkait pilihannya menjadi seorang mualaf. ”Kadang saking tidak sukanya, saya disuruh lepas hijab. Mereka tidak terima melihat anaknya sudah masuk Islam,” jelasnya. Menghadapi pertentangan demi pertentangan diakui perempuan berusia 43 tahun itu membuat dirinya kian tak nyaman di rumah keluarganya. Untuk ibadah juga harus sembunyi-sembunyi.

Salah satu yang membuatnya cukup jengkel adalah ketika ada yang mengolok-olok tentang Islam. Mereka menyebut Islam agama yang identik dengan kekerasan. ”Ketika mereka kumpul-kumpul sering sekali menjelekkan Islam,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, ujian keimanan Rahma tidak hanya datang dari pertentangan-pertentangan. Lebih jauh, disebutnya dorongan untuk kembali pada kepercayaan sebelumnya juga dinilai sangat kuat. Dia menyebut, caranya cukup banyak. Baik itu dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Salah satunya, alumnus Universitas Surabaya (Ubaya) itu kerap mendapatkan kiriman yang berhubungan dengan ajaran agama dulu. ”Keluarga saya sering mengirim video-video agama. Lalu, berusaha membujuk saya pergi ke pemuka agama untuk membuat saya sadar,” kenangnya.

Berada dalam kondisi penuh tekanan rupanya tidak membuat iman Rahma goyah. Menurutnya, ketika mulai lelah dengan hal-hal tersebut, Allah SWT selalu mempunyai cara untuk membuat dirinya kuat. Seperti dia dipertemukan dengan aktivis Mualaf Center Indonesia. Berkat lembaga itu, dia jadi mempunyai teman sesama mualaf yang punya kisah tidak jauh berbeda dengannya. ”Setelah mendengar cerita mereka, saya jadi merasa kalau masalah saya rupanya bukan yang terberat,” jelas perempuan berdomisili di daerah Sukun itu.

Selain hal tersebut, semakin kenal banyak mualaf, setiap ada problem terkait pilihan menjadi mualaf selalu muncul jalan keluar. Sebab, dalam perkumpulannya memang ada kegiatan diskusi dan kajian-kajian keagamaan. ”Alhamdulillah, pokoknya Allah selalu melancarkan jalan saya,” tuturnya. Baik itu urusan agama, mencari nafkah, sampai dengan mengurusi administrasi negara. Seperti mengurus KTP atau akta sang anak.

Lebih lanjut, menurutnya, keyakinan kepada Islam sangat kuat lantaran prosesnya menjadi mualaf berawal dari sebuah pencarian. Dia benar-benar mengkaji bagaimana Islam yang sesungguhnya. Kisahnya itu disebut Rahma dimulai pada tahun 2006 lalu saat dia mulai mempertanyakan bagaimana konsep Tuhan yang sesungguhnya. ”Ketika itu saya tidak yakin kenapa Tuhan bisa ada tiga di agama saya,” jelasnya.

Padahal, dia melanjutkan, apabila dilogika, sejatinya Sang Pencipta itu esa atau satu. Hatinya diliputi rasa penasaran membuat raganya terdorong untuk mempelajari agama lain. Terus melakukan kajian-kajian, Rahma dipertemukan hal-hal yang di luar dugaannya. Salah satu yang membuat terkejut adalah ketika mempelajari Alquran. ”Ketika itu dari Alquran tersebut saya menjadi mengetahui ternyata Tuhan itu benar-benar satu,” ucapnya.

Meski sudah mantap dengan Islam, namun untuk menjadi mualaf dia harus menunggu waktu hampir sepuluh tahun. Sebab, dalam benaknya waktu itu ada banyak hal yang mengganjal. Salah satunya adalah reaksi orang tuanya.

Rahma mendapatkan titik balik pada tahun 2016. Saat dirinya sadar kalau sejatinya umur tidak ada yang mengetahui. Alhasil, dia mulai memantapkan hatinya. Dia siap dengan risiko setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Setelah masuk Islam, hati saya menjadi nyaman. Ajaran-ajaran Islam membuat saya mengerti benar dan salah. Sebab, memang ada tuntutan,” paparnya. (rmc/c1/abm)

Andai saja keimanan Rahma (nama samaran) pada Allah tidak kokoh, bisa jadi dia akan keluar lagi dari Islam (murtad). Karena setelah menjadi mualaf tahun 2016 lalu, banyak yang mendesaknya untuk kembali ke agama lama. Berikut penuturannya kepada wartawan Jawa Pos Radar Malang, Galih R. Prasetyo.

——————–

Bayi di gendongan Rahma tiba-tiba menangis. Namun, dengan cekatan, dia menenangkannya. Baru setelah itu, Rahma mulai menceritakan kisahnya menjadi mualaf.

Sembari menggendong sang anak, Rahma mengaku kalau keputusannya menjadi mualaf mendapatkan banyak tantangan. Salah satunya penolakan dari kedua orang tua dan saudaranya. Menurut dia, hal tersebut terjadi salah satunya karena keluarganya merupakan jemaat taat di agama non-Islam. Rahma pun juga mantan pengurus aktif dalam kegiatan keagamaan di agama yang dianut keluarganya. ”Sampai saat ini kedua orang tua belum menerima keputusan saya (masuk Islam),” jelasnya.

Stigma negatif keluarga besarnya pada Islam memengaruhi bapak dan ibunya. Bagi mereka, masuk Islam dianggap sebagai umat yang tersesat. Kondisi itu membuatnya saat pulang ke rumah orang tua acap kali tidak disambut dengan hangat.

Rahma harus rela diacuhkan, bahkan kerap diajak berdebat terkait pilihannya menjadi seorang mualaf. ”Kadang saking tidak sukanya, saya disuruh lepas hijab. Mereka tidak terima melihat anaknya sudah masuk Islam,” jelasnya. Menghadapi pertentangan demi pertentangan diakui perempuan berusia 43 tahun itu membuat dirinya kian tak nyaman di rumah keluarganya. Untuk ibadah juga harus sembunyi-sembunyi.

Salah satu yang membuatnya cukup jengkel adalah ketika ada yang mengolok-olok tentang Islam. Mereka menyebut Islam agama yang identik dengan kekerasan. ”Ketika mereka kumpul-kumpul sering sekali menjelekkan Islam,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, ujian keimanan Rahma tidak hanya datang dari pertentangan-pertentangan. Lebih jauh, disebutnya dorongan untuk kembali pada kepercayaan sebelumnya juga dinilai sangat kuat. Dia menyebut, caranya cukup banyak. Baik itu dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Salah satunya, alumnus Universitas Surabaya (Ubaya) itu kerap mendapatkan kiriman yang berhubungan dengan ajaran agama dulu. ”Keluarga saya sering mengirim video-video agama. Lalu, berusaha membujuk saya pergi ke pemuka agama untuk membuat saya sadar,” kenangnya.

Berada dalam kondisi penuh tekanan rupanya tidak membuat iman Rahma goyah. Menurutnya, ketika mulai lelah dengan hal-hal tersebut, Allah SWT selalu mempunyai cara untuk membuat dirinya kuat. Seperti dia dipertemukan dengan aktivis Mualaf Center Indonesia. Berkat lembaga itu, dia jadi mempunyai teman sesama mualaf yang punya kisah tidak jauh berbeda dengannya. ”Setelah mendengar cerita mereka, saya jadi merasa kalau masalah saya rupanya bukan yang terberat,” jelas perempuan berdomisili di daerah Sukun itu.

Selain hal tersebut, semakin kenal banyak mualaf, setiap ada problem terkait pilihan menjadi mualaf selalu muncul jalan keluar. Sebab, dalam perkumpulannya memang ada kegiatan diskusi dan kajian-kajian keagamaan. ”Alhamdulillah, pokoknya Allah selalu melancarkan jalan saya,” tuturnya. Baik itu urusan agama, mencari nafkah, sampai dengan mengurusi administrasi negara. Seperti mengurus KTP atau akta sang anak.

Lebih lanjut, menurutnya, keyakinan kepada Islam sangat kuat lantaran prosesnya menjadi mualaf berawal dari sebuah pencarian. Dia benar-benar mengkaji bagaimana Islam yang sesungguhnya. Kisahnya itu disebut Rahma dimulai pada tahun 2006 lalu saat dia mulai mempertanyakan bagaimana konsep Tuhan yang sesungguhnya. ”Ketika itu saya tidak yakin kenapa Tuhan bisa ada tiga di agama saya,” jelasnya.

Padahal, dia melanjutkan, apabila dilogika, sejatinya Sang Pencipta itu esa atau satu. Hatinya diliputi rasa penasaran membuat raganya terdorong untuk mempelajari agama lain. Terus melakukan kajian-kajian, Rahma dipertemukan hal-hal yang di luar dugaannya. Salah satu yang membuat terkejut adalah ketika mempelajari Alquran. ”Ketika itu dari Alquran tersebut saya menjadi mengetahui ternyata Tuhan itu benar-benar satu,” ucapnya.

Meski sudah mantap dengan Islam, namun untuk menjadi mualaf dia harus menunggu waktu hampir sepuluh tahun. Sebab, dalam benaknya waktu itu ada banyak hal yang mengganjal. Salah satunya adalah reaksi orang tuanya.

Rahma mendapatkan titik balik pada tahun 2016. Saat dirinya sadar kalau sejatinya umur tidak ada yang mengetahui. Alhasil, dia mulai memantapkan hatinya. Dia siap dengan risiko setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Setelah masuk Islam, hati saya menjadi nyaman. Ajaran-ajaran Islam membuat saya mengerti benar dan salah. Sebab, memang ada tuntutan,” paparnya. (rmc/c1/abm)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru