MALANG KOTA– Nasib B, 17, begitu malang. Santri salah pesantren di Kedungkandang ini dikeroyok sembilan rekannya. Gara-garanya, dia dituduh mencuri uang Rp 100 ribu milik temannya satu pondok. Dia pun tak kuat menerima penganiayaan tersebut hingga kabur dari pesantren. Dia mengadu ke orang tuanya di Banyuwangi. Dan orang tuanya tidak terima hingga melapor ke Polresta Malang Kota. Kasus ini pun memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Malang, Kamis kemarin (2/12).
Dalam sidang tersebut, B juga hadir didampingi orang tuanya. Hadir pula sembilan terdakwa. A, N, T, H, A, Y, R, Y dan M. Semuanya seumuran dengan korban. Kebanyakan dari mereka bukan merupakan asli Malang Raya, melainkan daerah seperti Madura dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). “Aslinya anak saya menunjuk 13 anak, tapi yang benar-benar terbukti (mengeroyok) ada sembilan,” terang M, ayah korban kemarin.
Dari data yang dihimpun koran ini, awalnya, B dituduh mencuri uang milik salah satu terdakwa pada Sabtu 21 November 2020 malam. Keesokan harinya, tepatnya pukul 01.00, B dipukuli tiga dari sembilan orang terdakwa tersebut. B pun bersembunyi dan tidur di bus angkutan pondoknya. Pukul 18.30, dia kembali mendapat pemukulan, namun dia lapor ke pengurus pondok tersebut pukul 20.00. Akhirnya B dan empat terdakwa berdamai setelah mediasi yang dilakukan hingga pukul 23.00. Dalam mediasi itu, B tidak terbukti bersalah melakukan pencurian. Namun karena telanjur emosi, rekan-rekannya tetap saja menjadikan B sasaran amukan.
Puncaknya pada Senin 23 November 2020, dia dibawa oleh 13 orang rekan sekamarnya ke loteng pondok. Di sana dia mendapatkan pukulan dari semua terdakwa. Parahnya, dia nyaris dilempar dari atap oleh mereka. “Anak saya berulang kali disundut rokok di tangan, punggung dan leher, lalu menyeterika telinga kanannya. Dia diminta mengaku sama mereka,” papar M.
Tidak hanya itu, para terdakwa membalurkan balsem panas ke kepala korban. Sekira pukul 04.00, B akhirnya kabur dari pondok n dengan cara lompat pagar dan pulang ke Banyuwangi. Dari pondok tempat dia tinggal, dia berjalan kaki sampai ke terminal Arjosari. Korban langsung melaporkan ke orang tua setibanya di rumah. “Malamnya kami ke Malang, melaporkan perkara ini ke Polresta Malang Kota,” kata ayah korban.
Dalam perkara itu, sebenarnya korban pada hari pertama pemukulan tidak sendiri, tapi ada rekannya yang juga dituduh. Satu anak yang dituduh mencuri tersebut juga hadir menjadi saksi persidangan.
Karena perkara ini tergolong perkara pidana anak, diversi atau mediasi pun dilakukan semenjak di kepolisian. Total tiga kali dilakukan mediasi, hingga yang terakhir pada Kamis (25/11) lalu. Semuanya gagal karena orang tua korban bersikeras untuk melanjutkan perkara ini ke pengadilan. Di hadapan majelis hakim yang diketuai Silvya Tery SH, sembilan terdakwa didakwa dengan Pasal 80 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dengan penjara maksimal lima tahun penjara.
Kuasa hukum para terdakwa Heri Budi SH mengatakan bahwa kesemua terdakwa dalam persidangan itu mengakui semua perbuatannya. Ketika ditanya soal apakah kawan korban yang ketahuan itu melakukan pencurian, dia tidak berani menjawab. “Hanya indikasi saja, korban sendiri tidak mengakui soal pencuriannya,” ujar dia. (biy/abm)