21.5 C
Malang
Wednesday, 29 March 2023

Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin

Mengulik Ponpes Alm Agus Sunyoto, Ajarkan Suluk hingga Ngaji Digital

Selain dkenal sebagai budayawan, sejarawan dan penulis produktif, (alm) K Ng H. Agus Sunyoto juga pengasuh Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin. Ini salah satu pesantren unik di Malang. Bersamaan dengan Hari Santri 2021 ini, Jawa Pos Radar Malang secara khusus mengulik pesantren yang berada di Jalan Anggodo, Lowoksuruh Desa Mangliawan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang ini.

***

Ratusan santri terlihat mengikuti kegiatan sekolah formal di Pesantren Global Tarbiyatul Arifin kemarin (21/10). Sebelumnya mereka secara bersama membaca istighotsah dan doa. Spesialnya, selain ada program Madrasah Diniyah, Madrasah Ibtidaiyah (MI/ setara SD), Raudhatul Athfal (RA/ setingkat TK), di pesantren yang hampir keseluruhan dicat hijau itu juga ada pesantren budaya dan global online serta pesulukan (spiritual exercise).

Sejak mendiang K Ng H. Agus Sunyoto wafat (27/04/2021), Pengasuh Yayasan Pesantren Global Tarbiyatul Arifin dipercayakan pada adik kandungnya, Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd.

Mendiang K. Ng. Agus Sunyoto telah meninggalkan banyak sekali ”warisan” karya tulis dan pemikiran serta jejak perilaku yang patut jadi panutan siapa saja. Dia merupakan sosok santri sejati. Begitu pun dalam menjadi pengasuh Yayasan Pesantren Global, sejumlah peninggalannya tetap diterapkan di yayasan yang berbasis sosio-global itu.

Imron Arifin menyampaikan, pesantren ini memang didirikan pada masa proses memasuki globalisasi. Tepatnya pada 2012 lalu. Sehingga konsep pesantren adalah memadukan kecerdasan intelektual dan spiritual. Santri dididik untuk menguasai sumber informasi, teknologi dan perkembangan global. Tetapi mereka harus kuat spiritual dan juga kultural. “Itu yang selalu menjadi ciri khas Pesantren Global ini,” ungkapnya.

Dalam pesantren ini, dia menjelaskan, ngaji itu ada 3. Di antaranya, pertama tentunya pendidikan formal, yakni dengan jumlah santri MI sebanyak sekitar 80 sedangkan yang RA sekitar 50 siswa. Meski tidak begitu banyak, namun pesantren ini sifatnya sosial. Karena selain biaya pendidikannya murah, sebagian besar santrinya adalah yang perekonomian menengah ke bawah. Banyak di antara mereka yang juga digratiskan karena yatim piatu. “Selama ini memang disubsidi sama Kiai Agus, karena semua penghasilan Kiai Agus dari menulis dan ceramah itu dipakai untuk operasional pesantren ini,” beber Prof Imron, sapaan karibnya.

Sementara jenis ngaji yang kedua, adalah santri suluk. Mereka santri yang mendalami nilai dan lelaku spiritual. Yang mana dijadwalkan dalam setiap bulan dan dilakukan setiap Sabtu Kliwon. Biasanya mulai jam 21.00- 01.00 mulai ngaji tentang tasawuf. Santrinya pun bukan hanya dari Malang melainkan dari berbagai kota se-Jawa timur. Sekitar 75 santri itu mengaji tentang suluk dan olah rohani, geososial, geopolitik, geoekonomi, dan kearifan kebudayaan.

Selanjutnya, adalah santri global. Di sini uniknya, sebab pengajiannnya secara online melalui WhatsApp yang santrinya mencapai ratusan orang. Menurut dia, hal itu juga peninggalan dari Kiai Agus Sunyoto. Sehingga, santrinya juga hampir semua anggota Lesbumi dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di luar negeri. “Karena Kiai Agus sewaktu menjadi ketua Lesbumi PBNU mampu merevitalisasi dan pembaharuan Lesbumi, maka pengurus PBNU anugerahkan gelar Bapak Kebangkitan Lesbumi NU,” sebut ayah 3 anak itu.

Dari 3 jenis ngaji tersebut, sejak ditinggalkan Kiai Agus Sunyoto, semuanya masih diterapkan, kecuali untuk yang ngaji suluk. Untuk pengajian suluk ini masih dipersiapkan lagi, lantaran ngaji suluk ini berhubungan dengan masalah tarekat. “Dan tarekat itu spiritual yang tertinggi, kemungkinan nanti saya juga yang meneruskan, tapi masih ditata lagi,” kata pria yang menjadi dosen di Universitas Negeri Malang itu.

Selain peninggalan kurikulum, Kiai Agus Sunyoto juga meninggalkan benda-benda bersejarah. Dan ribuan buku yang didominasi buku sejarah, kebudayaan, dan agama. Sekitar 3.000 buku tersebut disusun rapi di perpustakaan pesantren yang berada di lantai satu dan dua. “Ada sebagian buku tentang sejarah, santri belum bisa faham kalau membacanya,” ungkap pria kelahiran 1965 itu.

Pada momen hari santri ini, pria yang juga menjadi ketua Yayasan Pendidikan Anak Saleh dan juga dosen Pascasarjana di Universitas Islam Malang (Unisma) itu berharap, santri-santri yang ada di Yayasan Pesantren Global harus tetap terinspirasi ajaran Kiai Agus. Salah satunya harus memiliki semangat juang berbasis komitmen kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Konsep Hubbul Wathon Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman) itu benar-benar terinternalisasi pada jiwa santri.

“Inpirasi itu tidak boleh hilang, karena santri harus menjadi mukhlis (ikhlas) dan mutawadli’ (tawadluk) juga harus memiliki komitmen keagamaan dan komitmen kebangsaan. Itu tidak boleh dipisahkan, karena itu yang diwariskan para kiai kepada santri” pungkasnya.

Sementara itu, Nyai Nur Baidah Sunyoto, istri Kiai Ng Agus Sunyoto juga menceritakan sejarah Pesantren Global tersebut sembari mengenang mendiang dengan mata berkaca-kaca. Menurut dia, sebenarnya, pembangunan pondasi sudah dilakukan sejak 2007 hasil dari menjual rumah. Beberapa tahun tidak terjamah karena beberapa kendala dan baru di 2011 mulai dilanjutkan lagi. “Sambil dibangun juga ditempati karena kami sudah tidak ngontrak lagi,” ungkapnya.

Awalnya sempat ditentang warga. Sebab di sekitarnya sudah ada sekolah. Namun secara perlahan mulai diterima masyarakat. Dikatakan pula, cita-cita Kiai Agus Sunyoto tak muluk-muluk, hanya ingin mengamalkan hadits: Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama. “Salah satunya menjadikan madrasah yang Qurani, karena secara tidak langsung mengajarkan banyak hal,”katanya. (ulf/abm/rmc)

Selain dkenal sebagai budayawan, sejarawan dan penulis produktif, (alm) K Ng H. Agus Sunyoto juga pengasuh Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin. Ini salah satu pesantren unik di Malang. Bersamaan dengan Hari Santri 2021 ini, Jawa Pos Radar Malang secara khusus mengulik pesantren yang berada di Jalan Anggodo, Lowoksuruh Desa Mangliawan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang ini.

***

Ratusan santri terlihat mengikuti kegiatan sekolah formal di Pesantren Global Tarbiyatul Arifin kemarin (21/10). Sebelumnya mereka secara bersama membaca istighotsah dan doa. Spesialnya, selain ada program Madrasah Diniyah, Madrasah Ibtidaiyah (MI/ setara SD), Raudhatul Athfal (RA/ setingkat TK), di pesantren yang hampir keseluruhan dicat hijau itu juga ada pesantren budaya dan global online serta pesulukan (spiritual exercise).

Sejak mendiang K Ng H. Agus Sunyoto wafat (27/04/2021), Pengasuh Yayasan Pesantren Global Tarbiyatul Arifin dipercayakan pada adik kandungnya, Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd.

Mendiang K. Ng. Agus Sunyoto telah meninggalkan banyak sekali ”warisan” karya tulis dan pemikiran serta jejak perilaku yang patut jadi panutan siapa saja. Dia merupakan sosok santri sejati. Begitu pun dalam menjadi pengasuh Yayasan Pesantren Global, sejumlah peninggalannya tetap diterapkan di yayasan yang berbasis sosio-global itu.

Imron Arifin menyampaikan, pesantren ini memang didirikan pada masa proses memasuki globalisasi. Tepatnya pada 2012 lalu. Sehingga konsep pesantren adalah memadukan kecerdasan intelektual dan spiritual. Santri dididik untuk menguasai sumber informasi, teknologi dan perkembangan global. Tetapi mereka harus kuat spiritual dan juga kultural. “Itu yang selalu menjadi ciri khas Pesantren Global ini,” ungkapnya.

Dalam pesantren ini, dia menjelaskan, ngaji itu ada 3. Di antaranya, pertama tentunya pendidikan formal, yakni dengan jumlah santri MI sebanyak sekitar 80 sedangkan yang RA sekitar 50 siswa. Meski tidak begitu banyak, namun pesantren ini sifatnya sosial. Karena selain biaya pendidikannya murah, sebagian besar santrinya adalah yang perekonomian menengah ke bawah. Banyak di antara mereka yang juga digratiskan karena yatim piatu. “Selama ini memang disubsidi sama Kiai Agus, karena semua penghasilan Kiai Agus dari menulis dan ceramah itu dipakai untuk operasional pesantren ini,” beber Prof Imron, sapaan karibnya.

Sementara jenis ngaji yang kedua, adalah santri suluk. Mereka santri yang mendalami nilai dan lelaku spiritual. Yang mana dijadwalkan dalam setiap bulan dan dilakukan setiap Sabtu Kliwon. Biasanya mulai jam 21.00- 01.00 mulai ngaji tentang tasawuf. Santrinya pun bukan hanya dari Malang melainkan dari berbagai kota se-Jawa timur. Sekitar 75 santri itu mengaji tentang suluk dan olah rohani, geososial, geopolitik, geoekonomi, dan kearifan kebudayaan.

Selanjutnya, adalah santri global. Di sini uniknya, sebab pengajiannnya secara online melalui WhatsApp yang santrinya mencapai ratusan orang. Menurut dia, hal itu juga peninggalan dari Kiai Agus Sunyoto. Sehingga, santrinya juga hampir semua anggota Lesbumi dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di luar negeri. “Karena Kiai Agus sewaktu menjadi ketua Lesbumi PBNU mampu merevitalisasi dan pembaharuan Lesbumi, maka pengurus PBNU anugerahkan gelar Bapak Kebangkitan Lesbumi NU,” sebut ayah 3 anak itu.

Dari 3 jenis ngaji tersebut, sejak ditinggalkan Kiai Agus Sunyoto, semuanya masih diterapkan, kecuali untuk yang ngaji suluk. Untuk pengajian suluk ini masih dipersiapkan lagi, lantaran ngaji suluk ini berhubungan dengan masalah tarekat. “Dan tarekat itu spiritual yang tertinggi, kemungkinan nanti saya juga yang meneruskan, tapi masih ditata lagi,” kata pria yang menjadi dosen di Universitas Negeri Malang itu.

Selain peninggalan kurikulum, Kiai Agus Sunyoto juga meninggalkan benda-benda bersejarah. Dan ribuan buku yang didominasi buku sejarah, kebudayaan, dan agama. Sekitar 3.000 buku tersebut disusun rapi di perpustakaan pesantren yang berada di lantai satu dan dua. “Ada sebagian buku tentang sejarah, santri belum bisa faham kalau membacanya,” ungkap pria kelahiran 1965 itu.

Pada momen hari santri ini, pria yang juga menjadi ketua Yayasan Pendidikan Anak Saleh dan juga dosen Pascasarjana di Universitas Islam Malang (Unisma) itu berharap, santri-santri yang ada di Yayasan Pesantren Global harus tetap terinspirasi ajaran Kiai Agus. Salah satunya harus memiliki semangat juang berbasis komitmen kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Konsep Hubbul Wathon Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman) itu benar-benar terinternalisasi pada jiwa santri.

“Inpirasi itu tidak boleh hilang, karena santri harus menjadi mukhlis (ikhlas) dan mutawadli’ (tawadluk) juga harus memiliki komitmen keagamaan dan komitmen kebangsaan. Itu tidak boleh dipisahkan, karena itu yang diwariskan para kiai kepada santri” pungkasnya.

Sementara itu, Nyai Nur Baidah Sunyoto, istri Kiai Ng Agus Sunyoto juga menceritakan sejarah Pesantren Global tersebut sembari mengenang mendiang dengan mata berkaca-kaca. Menurut dia, sebenarnya, pembangunan pondasi sudah dilakukan sejak 2007 hasil dari menjual rumah. Beberapa tahun tidak terjamah karena beberapa kendala dan baru di 2011 mulai dilanjutkan lagi. “Sambil dibangun juga ditempati karena kami sudah tidak ngontrak lagi,” ungkapnya.

Awalnya sempat ditentang warga. Sebab di sekitarnya sudah ada sekolah. Namun secara perlahan mulai diterima masyarakat. Dikatakan pula, cita-cita Kiai Agus Sunyoto tak muluk-muluk, hanya ingin mengamalkan hadits: Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama. “Salah satunya menjadikan madrasah yang Qurani, karena secara tidak langsung mengajarkan banyak hal,”katanya. (ulf/abm/rmc)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru