MALANG KOTA-Ditetapkannya tujuh tersangka dalam kasus penyiksaan Mentik ini menimbulkan sejumlah pertanyaan di masyarakat. Pertanyaan itu berupa hukuman apa yang pantas mereka dapatkan. Sebab dalam kasus penyiksaan ini yang terlibat mayoritas merupakan anak di bawah umur.
Namun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) telah mengatur hukuman apa yang bisa menjadi jawabannya. Terdapat sejumlah pasal yang telah mengatur mengatur jenis hukuman berdasarkan umur pelaku tindak kekerasan.
“Jika kita melihat rata-rata usia pelaku berusia 13 tahun, maka sesuai pasal 69 ayat 2 UU SSPA hukumannya berupa tindakan,” kata dosen Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Dr Nurini Aprilianda SH MHum.
Tindakan yang dimaksud bisa berupa pengembalian ke orang tua, perawatan ke rumah sakit jiwa, perawatan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), pendidikan formal, atau perbaikan akibat tindak pidana. Tak hanya itu saja, jika pelaku berusia 14 tahun ke atas namun belum berusia 18 tahun, bisa dilakukan penahanan dan pemidanaan. Namun hukuman tersebut harus didasarkan terlebih dahulu dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Wanita yang juga menjadi peneliti di Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) UB itu juga menjelaskan penyelesaian hukuman pelaku dengan restorative justice. Restorative justice yang menggunakan sistem diversi itu jauh lebih mudah diterapkan ketika pengambilan putusan di pengadilan negeri. Sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU SPPA, penyelesaian secara diversi bisa menerapkan hukuman maksimal penjara 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Namun penyelesaian ini juga harus mempertimbangkan kepentingan korban dan ada jaminan kasus bisa tidak terulang.
Nurini juga melihat kondisi korban saat ini perlu mendapat perlindungan khusus. Terutama menghukum pelaku pencabulan yang sudah beranjak dewasa. Dia menilai pelaku pencabulan tersebut bisa dilakukan dengan peradilan biasa. Berbeda dengan para pelaku penganiayaan yang masih di bawah umur.
“Sehingga kepentingan korban harus diutamakan, maka dia (korban) harus mendapat perlindungan sesuai UU yang berlaku tadi,” saran Nurini.
Perlindungan korban yang dia maksud bisa berupa ganti kerugian melalui mekanisme restitusi. Yakni sebuah proses yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai bentuk tanggung jawab. Ganti rugi itu bisa berupa rehabilitasi medis dan sosial, jaminan keselamatan fisik maupun mental, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Hal semacam ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana dan dikuatkan pada pasal 90 ayat 1 UU SPPA.
Agar tak terjadi kasus serupa, Nurini menyarankan Pemkot Malang bisa memberi perhatian lebih kepada perlindungan anak. Apalagi status Kota Layak Anak tingkat Nindya baru saja diraih. Begitu juga dengan peran masyarakat, perlu ada ketegasan dalam mencegah kasus penyiksaan maupun pencabulan terhadap anak. “Maka perlu ada sosialisasi supaya kita tahu bahwa kejahatan semacam ini tidak dibenarkan,” tutupnya. (biy/and/abm)