RADAR MALANG – Sektor ekonomi kreatif tetap menjanjikan di tengah situasi pandemi Covid-19. Karena itu, Wali Kota Malang Drs H. Sutiaji terus menyokong pelaku industri kriya dan fesyen berkembang. Apalagi sudah ada contoh kreasi kriya dan fesyen Kota yang berkibar hingga di kancah internasional.
“Kaum milenial akan sangat berpengaruh besar pada kehidupan bangsa Indonesia. Maka harapan kami di era globalisasi dan digitalisasi semua industri di Kota Malang akan berbasis teknologi. Malang termasuk menjadi kota kreatif, nanti tentu akan ada sisi lain yang bisa mengantarkan, seperti e-comerce-nya,” imbuh Sutiaji.
Sutiaji juga menegaskan, perkembangan ekonomi Kota Malang tidak lepas dari berkembangnya sektor kreatif. Sehingga pelaku ekonomi kreatif harus terus dikuatkan guna menyokokng ekonomi Indonesia. “Ekonomi kreatif yang sekarang menjadi primadona pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, Kota Malang mempunyai potensi ekonomi kreatif (ekraf) luar biasa, termasuk dalam subsektor kriya dan fesyen. Berbagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) kriya dan fesyen di Kota Malang tumbuh subur, bahkan beberapa di antaranya telah merambah pasar luar negeri.
Salah satunya House of Diamonds (HoD), sebuah usaha berbasis komunitas yang melibatkan dan memberdayakan perempuan sebagai seniman tekstil untuk memproduksi berbagai produk jahitan tangan.
Mengusung konsep sociopreneurship, HoD yang diciptakan dua bersaudara Nur Cholidah (Ida) dan Noor Fadillah (Lila) ini berupaya membawa dampak sosial dan berkelanjutan atas permasalahan di lingkungan sekitarnya.
Salah satu founders HoD Ida menuturkan, salah satu tujuan HoD supaya perempuan, seperti ibu-ibu yang tidak mempunyai kesempatan bekerja di luar tetap bisa berpenghasilan meski di rumah. “Intinya kami ingin berkontribusi mensejahterakan mereka dalam kehidupannya. Awalnya kami mulai dengan hanya dua orang, kini berkembang hingga 16 orang pengrajin yang aktif bekerja dan mendapat pelatihan,” ujar Ida.
Sedangkan totalnya yang ikut ambil bagian dalam usaha tersebut sebanyak 30 orang, di mana sebagian bekerja secara freelance. Kebanyakan saat ini yang bergabung ibu rumah tangga, ada yang dulu bekerja sebagai pekerja migran, korban human trafficking (perdagangan manusia). Untuk produk yang diproduksi, lanjut Ida, adalah produk-produk tekstil, seperti selimut, bed cover, home ware.
“Ada kimono, scraves, bandana, clutch, masker, istilahnya proyek-proyek gampang yang bisa dikerjakan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam HoD. Semua produknya handmade dan slow fashion, karena belum memakai teknologi tingkat tinggi, kami masih mengerjakan secara manual,” imbuh Ida.
Awalnya dia tak menyangka ada orang yang mau membeli produk yang dijual oleh HoD. Namun kini produknya telah dijual di dalam negeri, bahkan luar negeri seperti Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, Singapura, Taiwan, dan Finlandia. Ida mengaku pembelinya lebih banyak dari luar Malang, seperti Jakarta.
“Pelanggan juga bisa pesan melalui online. Kami juga jadi produsen toko-toko retail yang mendukung bisnis kecil berbasis komunitas. Itu banyak sekali di luar negeri, sehingga kami reach out (menjangkau) ke toko-toko atau organisasi yang membawahi retailer yang mau memanfaatkan produk lokal Indonesia, seperti di Canada ada satu, Amerika ada tiga, Australia ada satu, di Singapura ada tiga,” tambahnya.
Menurut Ida, sistem penjualan HoD bermacam-macam, salah satunya dengan wholesale (grosir). Pertama-tama, HoD akan menawarkan kepada wholesaler atau toko-toko yang melakukan pembelian produk dalam jumlah besar produk tradisional yang biasa HoD produksi. Dari situ para wholesaler ada yang langsung beli produk, tapi ada juga toko yang inginnya custom, misalnya mereka mau pola ini saja atau jahitannya seperti ini.
“Jadi masing-masing wholesaler mempunyai ciri khas sendiri, tapi diproduksi oleh HoD. Strategi bergabung dengan organisasi besar tujuannya supaya kami bisa dipromosikan, sehingga bisa mendapat wholesaler baru,” pungkas Ida.
Dia mengaku pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada usaha HoD. Di awal pandemi, HoD memproduksi masker kain bahan batik dan non-batik untuk dipasok ke beberapa toko wholesaler di luar Indonesia, Jakarta, dan Malang.
Kemudian salah satu kendala yang dihadapi akibat pandemi, terhentinya pemasok bahan baku. “Saat kondisi mulai membaik, kami mulai jalan lagi pelan-pelan memproduksi produk. Namun tetap melihat kondisi pasar, jadi harus cermat bikin produk apa yang bisa di jual,” sambungnya.
Pihaknya berharap ke depan bisa lebih efisien lagi dalam memproduksi dan memilih produk yang akan dijual. Tujuannya agar usaha HoD yang berbasis komunitas tetap bisa eksis.
Pewarta: Andika Satria