27.9 C
Malang
Wednesday, 29 March 2023

Bukan Ashabul Kahfi

Ini soal pilihan. Yang rutin terjadi se­­tiap malam pergantian tahun. Apa­kah mau tidur semalaman. Atau melek semalaman. Sebab, keduanya akan memiliki arti yang berbeda di­­­­banding tidur atau melek pada hari-hari biasa. Kemarin, jika memilih tidur sema­laman, boleh disebut Anda t­idur setahun. Karena begitu bangun, tahun telah berganti. Begitu pula jika memilih melek semalaman. Boleh disebut Anda tak meme­jamkan mata sepanjang 2021 hingga 2022.

Meskipun revolusi bumi ter­hadap matahari itu merupakan peristiwa alam yang ajeg terjadi de­ngan durasi yang sama, 365-366 hari, tetap saja manusia se­bagai penghuninya selalu me­nyambutnya dengan gegap gempita. Maklum, manusia adalah makhluk yang selalu butuh simbol-simbol. Apalagi sebagai homo symbolicum, ia bisa membuat dan menafsirkan apa pun sebagai simbol.

Revolusi bumi terhadap mata­hari adalah salah satunya. Peris­tiwa itu dibuat dan ditafsir­kan sebagai simbol dari pergan­ti­an tahun. Lalu, karena ini me­rupakan momen yang isti­mewa, dibuatlah ritus-ritus untuk mengiringinya. Sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan terhadap hal yang lebih baik ke depan.

Banyak memang yang patut di­syukuri dari apa yang telah terjadi sepanjang 2021. Utama­nya dari sektor kesehatan dan ekonomi. Setelah setahun lebih dihajar habis-habisan oleh pan­demi Covid-19 yang menye­babkan hampir seluruh lini kehidupan terpuruk, mulai tri­wulan akhir 2021 semua perlahan membaik.

Angka penyebaran virus tersebut bisa ditekan rendah. Ma­­lang Raya yang pada perte­nga­han tahun mencapai ribuan, pada akhir 2021 tinggal bela­san. Tracing, testing, treat­ment (3T) begitu masif. Vaksi­nasi sebagai upaya untuk mem­percepat terbentuknya herd immunity juga terus di­kebut, mulai dari lansia hingga anak-anak.

Alhasil, pembatasan sosial mu­lai bisa dilonggarkan. Level PPKM diturunkan. Pergerakan ma­nusia membuat ekonomi mulai bisa bergerak. Pedagang dan penyedia jasa bisa berjua­lan. Pabrik-pabrik bisa berpro­duksi kembali. Apalagi sekolah dan kampus mulai bisa meng­gelar pembelajaran tatap muka. Malang sebagai wilayah aglo­merasi pun kembali bergairah dengan banyaknya warga luar kota yang datang.

Tak heran, pada triwulan ter­­akhir, inflasi di Kota Malang cenderung naik. Data Badan Pu­sat Statistik (BPS) Kota Ma­lang menyebut, pada November lalu angkanya mencapai 0,26 persen. Naik dibanding Oktober yang 0,19 persen. Ini bahkan men­jadi yang tertinggi diban­ding bulan-bulan sebelumnya sepanjang 2021. Sedangkan Desember yang menjadi penu­tup tahun, diprediksi akan te­tap tinggi mengingat ada mo­men Natal dan Tahun Baru (Nataru). Inflasi menjadi salah satu penanda bahwa orang tak lagi takut berbelanja.

Cuma, 2021 juga mening­gal­kan pekerjaan rumah (PR) yang tak ringan di Malang Raya. Da­tang­nya musim penghujan menjelang akhir tahun mence­lik­kan mata semua. Tentang be­ta­­pa rapuhnya tata lingku­ngan yang dibuat di sana. Banjir ban­dang di Batu, awal Novem­ber lalu, misalnya. Mem­buka­kan ke­sa­daran tentang betapa ring­kihnya daya tangkap air hujan akibat beralihnya hutan menjadi ladang-ladang yang terbuka, permukiman, atau tempat wisata.

Begitu pula dengan banjir dan genangan yang terjadi di Malang Kota. Semrawutnya per­mukiman terkadang mem­buat penduduk nekat mendi­rikan bangunan di atas sungai yang juga menjadi saluran pembuangan limbahnya.

Sejak Pemerintah Hindia Belanda menerapkan libera­lisasi ekonomi dengan me­ngun­dang investor membuka perkebunan di Malang pada pa­roh kedua 1800-an, wilayah ini dengan segera menjadi gula bagi semut di sekitarnya. Apa­lagi kemudian kotanya ditata dengan dilengkapi berbagai sarana dan prasarana.

Banyak yang tertarik datang ke Malang lalu menetap men­jadi warganya. Tak pelak, jum­lah penduduk di wilayah ini meningkat dengan cepat. Data yang dikutip Pipit Anggraini dan Aisah dalam Kopi, Page­bluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang di Era Kolonial (2021) menyebut, jika pada 1890 populasi penduduk Kota Malang baru berjumlah 12.040 orang, pada 1940 me­ning­kat menjadi 169.316 orang. Artinya, dalam kurun waktu 50 tahun, terjadi penambahan lebih dari 157 ribu penduduk. Atau, rata-rata lebih dari 3 ribu penduduk per tahun.

Bukannya memudar, daya tarik Malang semakin mengilap dari tahun ke tahun. Data BPS Kota Malang menyebut, pada 2020 jumlah penduduk Kota Malang mencapai 874.890 orang. Ini artinya, terjadi pe­nam­bahan 717 ribu orang da­­lam kurun 80 tahun alias rata-rata hampir 9 ribu per ta­hun. Tak pelak, wilayah yang hanya seluas 110 ribu kilometer per­segi ini pun semakin penuh sesak dipadati penduduk. Be­lum lagi oleh mereka yang meski bukan berstatus pen­duduk Kota Malang, namun be­kerja, bersekolah, atau ber­kuliah di wilayah ini.

Ini tentu menimbulkan pro­blem tersendiri. Tata kota yang di­rancang oleh Herman Tho­mas Karsten begitu Malang dite­tapkan sebagai kotapraja pada 1 April 1914 jelas tak mam­pu lagi menampung leda­kan penduduk tersebut. Dibu­tuhkan perencanaan-peren­canaan baru seiring dengan gerak dinamika wilayahnya. Yang bu­kan hanya memer­hatikan pertumbuhan ekonomi. Na­mun, juga harus serius memer­hatikan keseimbangan alam agar tak membahayakan war­ganya. Dan, ini tidak hanya harus dilakukan di Kota Malang. Tapi juga Kota Batu dan Kabu­paten Malang yang menjadi kompatriotnya.

Itulah PR yang harus diker­jakan bersama sejak kita mena­pak tahun baru 2022. PR yang tidak bisa ditinggal tidur se­malaman atau melek se­malaman. Sebab, kita bukan­lah pemuda-pemuda saleh As­habul Kahfi yang begitu bangun–setelah tertidur 309 ta­hun di gua–semua sudah berganti. Kita juga bukan Bandung Bondowoso yang bisa me­nyelesaikan seribu candi sebe­lum ayam jantan berkokok di pagi hari. Kita harus tetap be­kerja. Bersama-sama. Agar hidup menjadi lebih baik lagi. (*)

Ini soal pilihan. Yang rutin terjadi se­­tiap malam pergantian tahun. Apa­kah mau tidur semalaman. Atau melek semalaman. Sebab, keduanya akan memiliki arti yang berbeda di­­­­banding tidur atau melek pada hari-hari biasa. Kemarin, jika memilih tidur sema­laman, boleh disebut Anda t­idur setahun. Karena begitu bangun, tahun telah berganti. Begitu pula jika memilih melek semalaman. Boleh disebut Anda tak meme­jamkan mata sepanjang 2021 hingga 2022.

Meskipun revolusi bumi ter­hadap matahari itu merupakan peristiwa alam yang ajeg terjadi de­ngan durasi yang sama, 365-366 hari, tetap saja manusia se­bagai penghuninya selalu me­nyambutnya dengan gegap gempita. Maklum, manusia adalah makhluk yang selalu butuh simbol-simbol. Apalagi sebagai homo symbolicum, ia bisa membuat dan menafsirkan apa pun sebagai simbol.

Revolusi bumi terhadap mata­hari adalah salah satunya. Peris­tiwa itu dibuat dan ditafsir­kan sebagai simbol dari pergan­ti­an tahun. Lalu, karena ini me­rupakan momen yang isti­mewa, dibuatlah ritus-ritus untuk mengiringinya. Sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan terhadap hal yang lebih baik ke depan.

Banyak memang yang patut di­syukuri dari apa yang telah terjadi sepanjang 2021. Utama­nya dari sektor kesehatan dan ekonomi. Setelah setahun lebih dihajar habis-habisan oleh pan­demi Covid-19 yang menye­babkan hampir seluruh lini kehidupan terpuruk, mulai tri­wulan akhir 2021 semua perlahan membaik.

Angka penyebaran virus tersebut bisa ditekan rendah. Ma­­lang Raya yang pada perte­nga­han tahun mencapai ribuan, pada akhir 2021 tinggal bela­san. Tracing, testing, treat­ment (3T) begitu masif. Vaksi­nasi sebagai upaya untuk mem­percepat terbentuknya herd immunity juga terus di­kebut, mulai dari lansia hingga anak-anak.

Alhasil, pembatasan sosial mu­lai bisa dilonggarkan. Level PPKM diturunkan. Pergerakan ma­nusia membuat ekonomi mulai bisa bergerak. Pedagang dan penyedia jasa bisa berjua­lan. Pabrik-pabrik bisa berpro­duksi kembali. Apalagi sekolah dan kampus mulai bisa meng­gelar pembelajaran tatap muka. Malang sebagai wilayah aglo­merasi pun kembali bergairah dengan banyaknya warga luar kota yang datang.

Tak heran, pada triwulan ter­­akhir, inflasi di Kota Malang cenderung naik. Data Badan Pu­sat Statistik (BPS) Kota Ma­lang menyebut, pada November lalu angkanya mencapai 0,26 persen. Naik dibanding Oktober yang 0,19 persen. Ini bahkan men­jadi yang tertinggi diban­ding bulan-bulan sebelumnya sepanjang 2021. Sedangkan Desember yang menjadi penu­tup tahun, diprediksi akan te­tap tinggi mengingat ada mo­men Natal dan Tahun Baru (Nataru). Inflasi menjadi salah satu penanda bahwa orang tak lagi takut berbelanja.

Cuma, 2021 juga mening­gal­kan pekerjaan rumah (PR) yang tak ringan di Malang Raya. Da­tang­nya musim penghujan menjelang akhir tahun mence­lik­kan mata semua. Tentang be­ta­­pa rapuhnya tata lingku­ngan yang dibuat di sana. Banjir ban­dang di Batu, awal Novem­ber lalu, misalnya. Mem­buka­kan ke­sa­daran tentang betapa ring­kihnya daya tangkap air hujan akibat beralihnya hutan menjadi ladang-ladang yang terbuka, permukiman, atau tempat wisata.

Begitu pula dengan banjir dan genangan yang terjadi di Malang Kota. Semrawutnya per­mukiman terkadang mem­buat penduduk nekat mendi­rikan bangunan di atas sungai yang juga menjadi saluran pembuangan limbahnya.

Sejak Pemerintah Hindia Belanda menerapkan libera­lisasi ekonomi dengan me­ngun­dang investor membuka perkebunan di Malang pada pa­roh kedua 1800-an, wilayah ini dengan segera menjadi gula bagi semut di sekitarnya. Apa­lagi kemudian kotanya ditata dengan dilengkapi berbagai sarana dan prasarana.

Banyak yang tertarik datang ke Malang lalu menetap men­jadi warganya. Tak pelak, jum­lah penduduk di wilayah ini meningkat dengan cepat. Data yang dikutip Pipit Anggraini dan Aisah dalam Kopi, Page­bluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang di Era Kolonial (2021) menyebut, jika pada 1890 populasi penduduk Kota Malang baru berjumlah 12.040 orang, pada 1940 me­ning­kat menjadi 169.316 orang. Artinya, dalam kurun waktu 50 tahun, terjadi penambahan lebih dari 157 ribu penduduk. Atau, rata-rata lebih dari 3 ribu penduduk per tahun.

Bukannya memudar, daya tarik Malang semakin mengilap dari tahun ke tahun. Data BPS Kota Malang menyebut, pada 2020 jumlah penduduk Kota Malang mencapai 874.890 orang. Ini artinya, terjadi pe­nam­bahan 717 ribu orang da­­lam kurun 80 tahun alias rata-rata hampir 9 ribu per ta­hun. Tak pelak, wilayah yang hanya seluas 110 ribu kilometer per­segi ini pun semakin penuh sesak dipadati penduduk. Be­lum lagi oleh mereka yang meski bukan berstatus pen­duduk Kota Malang, namun be­kerja, bersekolah, atau ber­kuliah di wilayah ini.

Ini tentu menimbulkan pro­blem tersendiri. Tata kota yang di­rancang oleh Herman Tho­mas Karsten begitu Malang dite­tapkan sebagai kotapraja pada 1 April 1914 jelas tak mam­pu lagi menampung leda­kan penduduk tersebut. Dibu­tuhkan perencanaan-peren­canaan baru seiring dengan gerak dinamika wilayahnya. Yang bu­kan hanya memer­hatikan pertumbuhan ekonomi. Na­mun, juga harus serius memer­hatikan keseimbangan alam agar tak membahayakan war­ganya. Dan, ini tidak hanya harus dilakukan di Kota Malang. Tapi juga Kota Batu dan Kabu­paten Malang yang menjadi kompatriotnya.

Itulah PR yang harus diker­jakan bersama sejak kita mena­pak tahun baru 2022. PR yang tidak bisa ditinggal tidur se­malaman atau melek se­malaman. Sebab, kita bukan­lah pemuda-pemuda saleh As­habul Kahfi yang begitu bangun–setelah tertidur 309 ta­hun di gua–semua sudah berganti. Kita juga bukan Bandung Bondowoso yang bisa me­nyelesaikan seribu candi sebe­lum ayam jantan berkokok di pagi hari. Kita harus tetap be­kerja. Bersama-sama. Agar hidup menjadi lebih baik lagi. (*)

Previous article
Next article

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru