Ini soal pilihan. Yang rutin terjadi setiap malam pergantian tahun. Apakah mau tidur semalaman. Atau melek semalaman. Sebab, keduanya akan memiliki arti yang berbeda dibanding tidur atau melek pada hari-hari biasa. Kemarin, jika memilih tidur semalaman, boleh disebut Anda tidur setahun. Karena begitu bangun, tahun telah berganti. Begitu pula jika memilih melek semalaman. Boleh disebut Anda tak memejamkan mata sepanjang 2021 hingga 2022.
Meskipun revolusi bumi terhadap matahari itu merupakan peristiwa alam yang ajeg terjadi dengan durasi yang sama, 365-366 hari, tetap saja manusia sebagai penghuninya selalu menyambutnya dengan gegap gempita. Maklum, manusia adalah makhluk yang selalu butuh simbol-simbol. Apalagi sebagai homo symbolicum, ia bisa membuat dan menafsirkan apa pun sebagai simbol.
Revolusi bumi terhadap matahari adalah salah satunya. Peristiwa itu dibuat dan ditafsirkan sebagai simbol dari pergantian tahun. Lalu, karena ini merupakan momen yang istimewa, dibuatlah ritus-ritus untuk mengiringinya. Sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan terhadap hal yang lebih baik ke depan.
Banyak memang yang patut disyukuri dari apa yang telah terjadi sepanjang 2021. Utamanya dari sektor kesehatan dan ekonomi. Setelah setahun lebih dihajar habis-habisan oleh pandemi Covid-19 yang menyebabkan hampir seluruh lini kehidupan terpuruk, mulai triwulan akhir 2021 semua perlahan membaik.
Angka penyebaran virus tersebut bisa ditekan rendah. Malang Raya yang pada pertengahan tahun mencapai ribuan, pada akhir 2021 tinggal belasan. Tracing, testing, treatment (3T) begitu masif. Vaksinasi sebagai upaya untuk mempercepat terbentuknya herd immunity juga terus dikebut, mulai dari lansia hingga anak-anak.
Alhasil, pembatasan sosial mulai bisa dilonggarkan. Level PPKM diturunkan. Pergerakan manusia membuat ekonomi mulai bisa bergerak. Pedagang dan penyedia jasa bisa berjualan. Pabrik-pabrik bisa berproduksi kembali. Apalagi sekolah dan kampus mulai bisa menggelar pembelajaran tatap muka. Malang sebagai wilayah aglomerasi pun kembali bergairah dengan banyaknya warga luar kota yang datang.
Tak heran, pada triwulan terakhir, inflasi di Kota Malang cenderung naik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang menyebut, pada November lalu angkanya mencapai 0,26 persen. Naik dibanding Oktober yang 0,19 persen. Ini bahkan menjadi yang tertinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya sepanjang 2021. Sedangkan Desember yang menjadi penutup tahun, diprediksi akan tetap tinggi mengingat ada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Inflasi menjadi salah satu penanda bahwa orang tak lagi takut berbelanja.
Cuma, 2021 juga meninggalkan pekerjaan rumah (PR) yang tak ringan di Malang Raya. Datangnya musim penghujan menjelang akhir tahun mencelikkan mata semua. Tentang betapa rapuhnya tata lingkungan yang dibuat di sana. Banjir bandang di Batu, awal November lalu, misalnya. Membukakan kesadaran tentang betapa ringkihnya daya tangkap air hujan akibat beralihnya hutan menjadi ladang-ladang yang terbuka, permukiman, atau tempat wisata.
Begitu pula dengan banjir dan genangan yang terjadi di Malang Kota. Semrawutnya permukiman terkadang membuat penduduk nekat mendirikan bangunan di atas sungai yang juga menjadi saluran pembuangan limbahnya.
Sejak Pemerintah Hindia Belanda menerapkan liberalisasi ekonomi dengan mengundang investor membuka perkebunan di Malang pada paroh kedua 1800-an, wilayah ini dengan segera menjadi gula bagi semut di sekitarnya. Apalagi kemudian kotanya ditata dengan dilengkapi berbagai sarana dan prasarana.
Banyak yang tertarik datang ke Malang lalu menetap menjadi warganya. Tak pelak, jumlah penduduk di wilayah ini meningkat dengan cepat. Data yang dikutip Pipit Anggraini dan Aisah dalam Kopi, Pagebluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang di Era Kolonial (2021) menyebut, jika pada 1890 populasi penduduk Kota Malang baru berjumlah 12.040 orang, pada 1940 meningkat menjadi 169.316 orang. Artinya, dalam kurun waktu 50 tahun, terjadi penambahan lebih dari 157 ribu penduduk. Atau, rata-rata lebih dari 3 ribu penduduk per tahun.
Bukannya memudar, daya tarik Malang semakin mengilap dari tahun ke tahun. Data BPS Kota Malang menyebut, pada 2020 jumlah penduduk Kota Malang mencapai 874.890 orang. Ini artinya, terjadi penambahan 717 ribu orang dalam kurun 80 tahun alias rata-rata hampir 9 ribu per tahun. Tak pelak, wilayah yang hanya seluas 110 ribu kilometer persegi ini pun semakin penuh sesak dipadati penduduk. Belum lagi oleh mereka yang meski bukan berstatus penduduk Kota Malang, namun bekerja, bersekolah, atau berkuliah di wilayah ini.
Ini tentu menimbulkan problem tersendiri. Tata kota yang dirancang oleh Herman Thomas Karsten begitu Malang ditetapkan sebagai kotapraja pada 1 April 1914 jelas tak mampu lagi menampung ledakan penduduk tersebut. Dibutuhkan perencanaan-perencanaan baru seiring dengan gerak dinamika wilayahnya. Yang bukan hanya memerhatikan pertumbuhan ekonomi. Namun, juga harus serius memerhatikan keseimbangan alam agar tak membahayakan warganya. Dan, ini tidak hanya harus dilakukan di Kota Malang. Tapi juga Kota Batu dan Kabupaten Malang yang menjadi kompatriotnya.
Itulah PR yang harus dikerjakan bersama sejak kita menapak tahun baru 2022. PR yang tidak bisa ditinggal tidur semalaman atau melek semalaman. Sebab, kita bukanlah pemuda-pemuda saleh Ashabul Kahfi yang begitu bangun–setelah tertidur 309 tahun di gua–semua sudah berganti. Kita juga bukan Bandung Bondowoso yang bisa menyelesaikan seribu candi sebelum ayam jantan berkokok di pagi hari. Kita harus tetap bekerja. Bersama-sama. Agar hidup menjadi lebih baik lagi. (*)