27.7 C
Malang
Thursday, 30 March 2023

Tanpa Alun-Alun

PEKAN ini, ada dua isu ”seksi” di Kabupaten Malang. Pertama, wacana penggantian nama ”Kabupaten Malang” menjadi ”Kabupaten Kepanjen”. Wacana itu dilontarkan oleh Bupati H M. Sanusi. Kedua, masih belum ada kepastian kapan dibangun alun-alun kota, padahal ibu kota sudah resmi pindah ke Kepanjen sejak 13 tahun lalu.

Mulanya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang punya dua alun-alun. Masing-masing berada di Jalan Merdeka dan di Jalan Tugu. Keberadaan alun-alun Merdeka ini mengindikasikan bahwa tata letak pemerintahan kabupaten Malang mendekati konsep macapat.
Dalam kitab Negara Kertagama karya Empu Prapanca, pusat pemerintahan yang menerapkan konsep macapat, alun-alun kota berada di titik pusat atau punjer. Alun-alun itu kemudian dikelilingi bangunan penting di empat penjuru. Sisi timur ada gedung penjara yang melambangkan simbol perilaku negatif. Sisi barat ada tempat ibadah seperti masjid atau gereja yang melambangkan simbol positif. Sisi selatan ada pendapa yang menyatu dengan kantor pemerintahan. Dan sisi utara ada pasar rakyat. Embrio konsep macapat ini sudah terlihat sejak zaman kerajaan Majapahit, namun baru diterapkan era kesultanan Mataram.

Tata letak pemerintahan di Kabupaten Malang disebut ‘mendekati” konsep macapat karena alun-alun merdeka sudah dikelilingi empat bangunan penting. Hanya saja letaknya ada yang kurang pas. Misalnya kantor pemerintahan dan penjara berada di sisi timur alun-alun. Seharusnya cukup gedung penjara saja (kini Ramayana Mall) yang berada di sisi timur, sementara kantor pemerintahan ada di sisi selatan alun-alun. Kawasan pasar besar yang seharusnya di sisi utara alun-alun, malah berada di sisi selatan. Ini juga kurang pas. Sementara letak masjid Agung Jami’ sudah di sisi barat, persis penataan ala macapat.

Sementara untuk alun-alun bundar di Jalan Tugu didesain oleh pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja, desain dan penataannya tidak sesuai dengan konsep macapat yang merupakan warisan leluhur kerajaan Jawa.

Ketika Kota Malang berstatus gementee (kotapraja) pada tahun 1914, Bumi Kanjuruhan tidak lagi punya alun-alun. Itu karena dua alun-alun di jantung kota sudah bergeser kepemilikannya, dari Kabupaten Malang menjadi Kota Malang. Hal itu lazim terjadi karena secara geografis berada di wilayah Kota Malang.

Dengan munculnya kota Malang, berarti selama 107 tahun ini (1914-2021), daerah terluas kedua di Jawa Timur itu tak memiliki alun-alun. Padahal, umumnya kota-kota besar di dunia menjadikan alun-alun sebagai ikon daerah tersebut. Pada masa kolonial, lapangan monas (monumen nasional) yang kala itu masih bernama konigsplein menjadi tempat berlangsungnya peristiwa penting atau monumental. Lapangan monas itu merupakan alun-alun DKI Jakarta yang kemudian dibangun tugu Monas. Kini tugu Monas menjadi ikon Indonesia. Begitu juga dengan lapangan Central Park dijadikan ikon kota New York, Amerika Serikat (AS).
Selain AS, ada beberapa negara di dunia yang menjadikan alun-alun kota (city squares) sebagai ikon negara. Rusia misalnya, juga memberi perhatian lebih terhadap pentingnya keberadaan alun-alun kota. Tepat di jantung kota Moscow, dibangun lapangan merah yang dikelilingi bangunan bernilai sejarah. Di antaranya ada museum Vladimir Lenin dan jembatan kremlin. Lapangan merah itu salah satu ikon Rusia dan menjadi jujugan wisatawan. Banyak wisatawan yang berfoto-foto di area tersebut.

Perhatian besar terhadap alun-alun juga ditunjukkan Italia. Di negara tempat berdirinya menara pizza itu ada alun-alun terbesar di Eropa. Lokasinya di kota Siena. Demikian juga Polandia. Negara di Eropa tengah itu membangun alun-alun di kota tua Krakow. Seperti di Rusia, alun-alun Krakow ini juga dikelilingi bangunan bersejarah.

Di Indonesia juga banyak pemerintah daerah (pemda) yang menonjolkan alun-alun kota sebagai daya pikat wisatawan sekaligus ikon daerah tersebut. Kota Bandung misalnya, era pemerintahan Wali Kota Ridwan Kamil (kini gubernur Jabar) dibangun alun-alun rumput sintesis yang bermotif. Ini merupakan salah satu alun-alun terindah di Indonesia.

Wonosobo dan Lumajang juga punya alun-alun bernilai sejarah. Itu juga menjadi salah satu ikon di daerah tersebut. Sementara di luar pulau Jawa, ada Batam, Pontianak, Tenggarong, dan Bukittinggi juga membangun alun-alun yang indah.
Terbaru, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat merevitalisasi alun-alun menjadi super megah yang kental dengan kebudayaan lokal. Baru diresmikan Presiden Jokowi pada 2019 lalu, langsung dipadati wisatawan. Di sela-sela kunjungannya itu, Jokowi berjanji akan meng-update alun-alun dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun janji Jokowi itu tenggelam lantaran setahun kemudian Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Perhatian serius Presiden Jokowi ini harus disambut oleh Bupati H M. Sanusi dan jajarannya di Pemkab Malang. Jangan sampai di usia 1.261 tahun ini Bumi Kanjuruhan menjadi satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia yang tidak memiliki alun-alun kota. Tentu realisasi proyek alun-alun Kepanjen harus tetap mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19. Juga harus ditopang dengan konsep matang.

Sejak ibu kota Kabupaten Malang pindah ke Kepanjen sekitar 13 tahun lalu, bupati Malang sudah berganti tiga kali. Sujud Pribadi (2001-2010), Rendra Kresna (2010-2018), dan kini H M. Sanusi yang menjabat sejak 2018 lalu. Dua bupati pendahulu H M. Sanusi terbukti tidak berhasil merealisasikan pembangunan alun-alun kota. Kini, harapan ada di pundak H M. Sanusi. Apakah alun-alun Kepanjen bakal terwujud? Atau sama seperti dua pendahulunya yang tidak merealisasikan alun-alun hingga akhir masa jabatannya?
Sebenarnya di masa Rendra Kresna menjabat bupati Malang, pemkab sudah mengalokasikan anggaran Rp 60 miliar untuk pembebasan lahan di Kepanjen. Tepatnya di kawasan block office. Tapi rencana itu batal. Ketika pemerintahan berganti di “pegang” Sanusi, proyek alun-alun Kepanjen masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Malang Makmur periode 2021-2024. Artinya, pemerintahan Sanusi-Didik Gatot Subroto sudah memprioritaskan pembangunan alun-alun Kepanjen.
Kalaupun H M. Sanusi mampu merealisasikannya, rasanya sulit bisa menerapkan konsep macapat. Jika nanti membeli lahan di area block office, keberadaan alun-alun terlalu jauh dari Pasar Kepanjen dan masjid Jami’ Agung Kepanjen. Padahal dalam konsep macapat, letak masjid jami’ harus persis di sebelah barat alun-alun dan pasar rakyat tepat di sisi utara alun alun. Di Kepanjen juga tidak ada gedung penjara. Tapi problem seperti ini lazim terjadi pada daerah yang punya ibu kota baru. Apakah Bupati H M. Sanusi mau menerapkan konsep macapat atau tidak, itu kewenangan sepenuhnya sebagai bupati.(*)

PEKAN ini, ada dua isu ”seksi” di Kabupaten Malang. Pertama, wacana penggantian nama ”Kabupaten Malang” menjadi ”Kabupaten Kepanjen”. Wacana itu dilontarkan oleh Bupati H M. Sanusi. Kedua, masih belum ada kepastian kapan dibangun alun-alun kota, padahal ibu kota sudah resmi pindah ke Kepanjen sejak 13 tahun lalu.

Mulanya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang punya dua alun-alun. Masing-masing berada di Jalan Merdeka dan di Jalan Tugu. Keberadaan alun-alun Merdeka ini mengindikasikan bahwa tata letak pemerintahan kabupaten Malang mendekati konsep macapat.
Dalam kitab Negara Kertagama karya Empu Prapanca, pusat pemerintahan yang menerapkan konsep macapat, alun-alun kota berada di titik pusat atau punjer. Alun-alun itu kemudian dikelilingi bangunan penting di empat penjuru. Sisi timur ada gedung penjara yang melambangkan simbol perilaku negatif. Sisi barat ada tempat ibadah seperti masjid atau gereja yang melambangkan simbol positif. Sisi selatan ada pendapa yang menyatu dengan kantor pemerintahan. Dan sisi utara ada pasar rakyat. Embrio konsep macapat ini sudah terlihat sejak zaman kerajaan Majapahit, namun baru diterapkan era kesultanan Mataram.

Tata letak pemerintahan di Kabupaten Malang disebut ‘mendekati” konsep macapat karena alun-alun merdeka sudah dikelilingi empat bangunan penting. Hanya saja letaknya ada yang kurang pas. Misalnya kantor pemerintahan dan penjara berada di sisi timur alun-alun. Seharusnya cukup gedung penjara saja (kini Ramayana Mall) yang berada di sisi timur, sementara kantor pemerintahan ada di sisi selatan alun-alun. Kawasan pasar besar yang seharusnya di sisi utara alun-alun, malah berada di sisi selatan. Ini juga kurang pas. Sementara letak masjid Agung Jami’ sudah di sisi barat, persis penataan ala macapat.

Sementara untuk alun-alun bundar di Jalan Tugu didesain oleh pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja, desain dan penataannya tidak sesuai dengan konsep macapat yang merupakan warisan leluhur kerajaan Jawa.

Ketika Kota Malang berstatus gementee (kotapraja) pada tahun 1914, Bumi Kanjuruhan tidak lagi punya alun-alun. Itu karena dua alun-alun di jantung kota sudah bergeser kepemilikannya, dari Kabupaten Malang menjadi Kota Malang. Hal itu lazim terjadi karena secara geografis berada di wilayah Kota Malang.

Dengan munculnya kota Malang, berarti selama 107 tahun ini (1914-2021), daerah terluas kedua di Jawa Timur itu tak memiliki alun-alun. Padahal, umumnya kota-kota besar di dunia menjadikan alun-alun sebagai ikon daerah tersebut. Pada masa kolonial, lapangan monas (monumen nasional) yang kala itu masih bernama konigsplein menjadi tempat berlangsungnya peristiwa penting atau monumental. Lapangan monas itu merupakan alun-alun DKI Jakarta yang kemudian dibangun tugu Monas. Kini tugu Monas menjadi ikon Indonesia. Begitu juga dengan lapangan Central Park dijadikan ikon kota New York, Amerika Serikat (AS).
Selain AS, ada beberapa negara di dunia yang menjadikan alun-alun kota (city squares) sebagai ikon negara. Rusia misalnya, juga memberi perhatian lebih terhadap pentingnya keberadaan alun-alun kota. Tepat di jantung kota Moscow, dibangun lapangan merah yang dikelilingi bangunan bernilai sejarah. Di antaranya ada museum Vladimir Lenin dan jembatan kremlin. Lapangan merah itu salah satu ikon Rusia dan menjadi jujugan wisatawan. Banyak wisatawan yang berfoto-foto di area tersebut.

Perhatian besar terhadap alun-alun juga ditunjukkan Italia. Di negara tempat berdirinya menara pizza itu ada alun-alun terbesar di Eropa. Lokasinya di kota Siena. Demikian juga Polandia. Negara di Eropa tengah itu membangun alun-alun di kota tua Krakow. Seperti di Rusia, alun-alun Krakow ini juga dikelilingi bangunan bersejarah.

Di Indonesia juga banyak pemerintah daerah (pemda) yang menonjolkan alun-alun kota sebagai daya pikat wisatawan sekaligus ikon daerah tersebut. Kota Bandung misalnya, era pemerintahan Wali Kota Ridwan Kamil (kini gubernur Jabar) dibangun alun-alun rumput sintesis yang bermotif. Ini merupakan salah satu alun-alun terindah di Indonesia.

Wonosobo dan Lumajang juga punya alun-alun bernilai sejarah. Itu juga menjadi salah satu ikon di daerah tersebut. Sementara di luar pulau Jawa, ada Batam, Pontianak, Tenggarong, dan Bukittinggi juga membangun alun-alun yang indah.
Terbaru, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat merevitalisasi alun-alun menjadi super megah yang kental dengan kebudayaan lokal. Baru diresmikan Presiden Jokowi pada 2019 lalu, langsung dipadati wisatawan. Di sela-sela kunjungannya itu, Jokowi berjanji akan meng-update alun-alun dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun janji Jokowi itu tenggelam lantaran setahun kemudian Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Perhatian serius Presiden Jokowi ini harus disambut oleh Bupati H M. Sanusi dan jajarannya di Pemkab Malang. Jangan sampai di usia 1.261 tahun ini Bumi Kanjuruhan menjadi satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia yang tidak memiliki alun-alun kota. Tentu realisasi proyek alun-alun Kepanjen harus tetap mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19. Juga harus ditopang dengan konsep matang.

Sejak ibu kota Kabupaten Malang pindah ke Kepanjen sekitar 13 tahun lalu, bupati Malang sudah berganti tiga kali. Sujud Pribadi (2001-2010), Rendra Kresna (2010-2018), dan kini H M. Sanusi yang menjabat sejak 2018 lalu. Dua bupati pendahulu H M. Sanusi terbukti tidak berhasil merealisasikan pembangunan alun-alun kota. Kini, harapan ada di pundak H M. Sanusi. Apakah alun-alun Kepanjen bakal terwujud? Atau sama seperti dua pendahulunya yang tidak merealisasikan alun-alun hingga akhir masa jabatannya?
Sebenarnya di masa Rendra Kresna menjabat bupati Malang, pemkab sudah mengalokasikan anggaran Rp 60 miliar untuk pembebasan lahan di Kepanjen. Tepatnya di kawasan block office. Tapi rencana itu batal. Ketika pemerintahan berganti di “pegang” Sanusi, proyek alun-alun Kepanjen masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Malang Makmur periode 2021-2024. Artinya, pemerintahan Sanusi-Didik Gatot Subroto sudah memprioritaskan pembangunan alun-alun Kepanjen.
Kalaupun H M. Sanusi mampu merealisasikannya, rasanya sulit bisa menerapkan konsep macapat. Jika nanti membeli lahan di area block office, keberadaan alun-alun terlalu jauh dari Pasar Kepanjen dan masjid Jami’ Agung Kepanjen. Padahal dalam konsep macapat, letak masjid jami’ harus persis di sebelah barat alun-alun dan pasar rakyat tepat di sisi utara alun alun. Di Kepanjen juga tidak ada gedung penjara. Tapi problem seperti ini lazim terjadi pada daerah yang punya ibu kota baru. Apakah Bupati H M. Sanusi mau menerapkan konsep macapat atau tidak, itu kewenangan sepenuhnya sebagai bupati.(*)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru