26.2 C
Malang
Thursday, 23 March 2023

Pelajaran dari Ujaran Kebencian

Oleh: Biyan Mudzaky Hanindito

Jurnalis Radar Malang

ADA pelajaran menarik dari perkara ujaran kebencian dengan terdakwa Dian Patria Arum Sari yang saat ini masih berjalan di pengadilan. Awalnya berusaha menagih utang.

Karena terbakar emosi, dia menuliskan komentar pedas di akun Facebook pihak yang dianggapnya punya utang. Alih-alih utangnya kembali, Dian malah diseret ke meja hijau dengan jeratan pasal dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Memang terkesan ironis. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Namun begitulah risiko kalau tidak memahami sisi riskan media sosial.

Sedikit ”terpeleset” saja harus dibayar mahal. Sangat mahal!

Bayangkan, di persidangan, jaksa menuntut Dian dengan pidana dua tahun dan enam bulan penjara. Juga ada tuntutan denda sebesar Rp 750 juta subsider tiga bulan kurungan. Padahal, utang yang dia tagih hanya sekitar Rp 25 juta.

Pencemaran nama baik dan ujaran kebencian adalah delik aduan. Dapat dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan dan dirusak nama baiknya.

Dengan perilaku warganet di Indonesia yang masih sembarangan, lembaga pemasyarakatan akan cepat penuh penghuni jika semua ujaran kebencian dilaporkan ke polisi dan dipidana.

Ambil satu contoh di grup Facebook Komunitas Peduli Malang Raya. Di dalamnya bertebaran unggahan seseorang yang punya urusan utang piutang dan berusaha menagih.

Padahal grup itu tidak dikunci, sehingga setiap unggahan dapat dilihat siapa pun. Cukup dengan kata kunci ”ruwet” di pencarian akun tersebut, Anda akan menemukan banyak unggahan semacam itu.

Tak jarang ada kalimat umpatan provokatif di sela-sela caption foto pengunggah serta menautkan akun si tertuduh. Dengan dalil pasal 27 ayat 3 UU tentang ITE, si tertuduh yang merasa tidak senang dapat melaporkan dugaan tindak pidana ke polisi.

Proses hukumnya akan lebih mudah jika pelapor kenal atau setidaknya mengetahui tempat tinggal pelaku.

Sebenarnya, untuk mencegah jebolnya kapasitas lapas akibat pemidanaan kasus ujaran kebencian, pemerintah sudah membuat batasan.

Salah satunya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 229 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu pada UU ITE.

Misalnya implementasi pasal 27 ayat 3 UU ITE. Proses hukum juga harus memastikan apakah yang dituduhkan itu fitnah atau tidak. Penuduh harus memiliki bukti kuat tentang apa yang dituduhkan supaya tidak dikenakan UU ITE.

Hal itu tertuang dalam butir C SKB. Di sana diterangkan bahwa suatu unggahan atau ujaran, walau memiliki kata-kata ekstra pedas, jika yang dimuat adalah penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, maka tidak bisa menjadi perkara kalau yang dikatakan itu yang sebenarnya terjadi.

Ada juga butir D yang menyebutkan, jika suatu unggahan berbau menghina itu ada sebab-musabab berupa perkara lain, maka tidak dapat diproses polisi sebelum perkara lain itu selesai dan terbukti.

Ambil contoh unggahan yang menagih utang piutang. Ketika unggahan itu dipersoalkan, maka masalah utang piutang yang menjadi penyebab harus diselesaikan secara hukum terlebih dahulu. Jika belum, maka laporan ujaran kebencian itu tidak dapat diproses.

Yang juga menjadi persyaratan, unggahan itu harus diketahui banyak orang. Tidak dibenarkan jika penghinaan antar-person secara tertutup dilaporkan ke polisi.

Terlepas dari segala batasan yang digariskan, inti dari aturan hukum itu adalah menahan gatalnya jari tangan untuk tidak mengunggah postingan yang menghina. Bila sudah telanjur diperkarakan secara pidana, maka batasan-batasan di atas bisa diterapkan.

Untuk ujaran kebencian tanpa sebab perkara lain, penyelesaian melalui jalur kekeluargaan atau menggunakan jalur restorative justice lebih diutamakan.

Karena dari kacamata orang awam, sungguh aneh jika menuliskan apa yang dilihat dan dipikir, tiba-tiba saja dipenjara karena ada yang tersinggung. Lagi-lagi, mawas diri dari dua pihak harus dikedepankan. (*)

Oleh: Biyan Mudzaky Hanindito

Jurnalis Radar Malang

ADA pelajaran menarik dari perkara ujaran kebencian dengan terdakwa Dian Patria Arum Sari yang saat ini masih berjalan di pengadilan. Awalnya berusaha menagih utang.

Karena terbakar emosi, dia menuliskan komentar pedas di akun Facebook pihak yang dianggapnya punya utang. Alih-alih utangnya kembali, Dian malah diseret ke meja hijau dengan jeratan pasal dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Memang terkesan ironis. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Namun begitulah risiko kalau tidak memahami sisi riskan media sosial.

Sedikit ”terpeleset” saja harus dibayar mahal. Sangat mahal!

Bayangkan, di persidangan, jaksa menuntut Dian dengan pidana dua tahun dan enam bulan penjara. Juga ada tuntutan denda sebesar Rp 750 juta subsider tiga bulan kurungan. Padahal, utang yang dia tagih hanya sekitar Rp 25 juta.

Pencemaran nama baik dan ujaran kebencian adalah delik aduan. Dapat dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan dan dirusak nama baiknya.

Dengan perilaku warganet di Indonesia yang masih sembarangan, lembaga pemasyarakatan akan cepat penuh penghuni jika semua ujaran kebencian dilaporkan ke polisi dan dipidana.

Ambil satu contoh di grup Facebook Komunitas Peduli Malang Raya. Di dalamnya bertebaran unggahan seseorang yang punya urusan utang piutang dan berusaha menagih.

Padahal grup itu tidak dikunci, sehingga setiap unggahan dapat dilihat siapa pun. Cukup dengan kata kunci ”ruwet” di pencarian akun tersebut, Anda akan menemukan banyak unggahan semacam itu.

Tak jarang ada kalimat umpatan provokatif di sela-sela caption foto pengunggah serta menautkan akun si tertuduh. Dengan dalil pasal 27 ayat 3 UU tentang ITE, si tertuduh yang merasa tidak senang dapat melaporkan dugaan tindak pidana ke polisi.

Proses hukumnya akan lebih mudah jika pelapor kenal atau setidaknya mengetahui tempat tinggal pelaku.

Sebenarnya, untuk mencegah jebolnya kapasitas lapas akibat pemidanaan kasus ujaran kebencian, pemerintah sudah membuat batasan.

Salah satunya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 229 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu pada UU ITE.

Misalnya implementasi pasal 27 ayat 3 UU ITE. Proses hukum juga harus memastikan apakah yang dituduhkan itu fitnah atau tidak. Penuduh harus memiliki bukti kuat tentang apa yang dituduhkan supaya tidak dikenakan UU ITE.

Hal itu tertuang dalam butir C SKB. Di sana diterangkan bahwa suatu unggahan atau ujaran, walau memiliki kata-kata ekstra pedas, jika yang dimuat adalah penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, maka tidak bisa menjadi perkara kalau yang dikatakan itu yang sebenarnya terjadi.

Ada juga butir D yang menyebutkan, jika suatu unggahan berbau menghina itu ada sebab-musabab berupa perkara lain, maka tidak dapat diproses polisi sebelum perkara lain itu selesai dan terbukti.

Ambil contoh unggahan yang menagih utang piutang. Ketika unggahan itu dipersoalkan, maka masalah utang piutang yang menjadi penyebab harus diselesaikan secara hukum terlebih dahulu. Jika belum, maka laporan ujaran kebencian itu tidak dapat diproses.

Yang juga menjadi persyaratan, unggahan itu harus diketahui banyak orang. Tidak dibenarkan jika penghinaan antar-person secara tertutup dilaporkan ke polisi.

Terlepas dari segala batasan yang digariskan, inti dari aturan hukum itu adalah menahan gatalnya jari tangan untuk tidak mengunggah postingan yang menghina. Bila sudah telanjur diperkarakan secara pidana, maka batasan-batasan di atas bisa diterapkan.

Untuk ujaran kebencian tanpa sebab perkara lain, penyelesaian melalui jalur kekeluargaan atau menggunakan jalur restorative justice lebih diutamakan.

Karena dari kacamata orang awam, sungguh aneh jika menuliskan apa yang dilihat dan dipikir, tiba-tiba saja dipenjara karena ada yang tersinggung. Lagi-lagi, mawas diri dari dua pihak harus dikedepankan. (*)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru