TAHUN ini ada dua momen yang bisa membuat umat Islam Indonesia merasa lebih lega. Pertama, tidak diberlakukannya lagi larangan atau pembatasan mudik Lebaran. Bebarengan dengan momen itu, pemerintah memberikan kepastian kabar bahwa tahun ini akan kembali memberangkatkan jamaah haji ke tanah suci.
Tapi ada juga kabar yang kurang menggembirakan.
Kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi tidak lebih dari separo kuota sebelum pandemi Covid-19 melanda. Ya, kabar terakhir dari pemerintah, Indonesia mendapatkan kuota jamaah sebanyak 100.051 jamaah. Padahal pada 2019 lalu, Indonesia mendapat kuota sebesar 231 ribu.
Kabar kurang mengenakkan lainnya, calon jamaah di atas usia 65 tahun dilarang berangkat. Entah sampai kapan larangan itu berlangsung. Mudah-mudahan tidak seterusnya. Sebab kalau larangan itu berlaku selamanya, tentu menjadi sebuah pukulan telak bagi Indonesia. Sebab, dari tahun ke tahun, mayoritas jamaah haji Indonesia adalah lansia atau di atas 65 tahun.
Data Kementerian Agama menyebutkan bahwa 63 persen jamaah haji Indonesia pada 2019 adalah warga lanjut usia. Tahun-tahun sebelumnya nyaris sama, bahwa jamaah haji Indonesia yang siap diberangkatkan mayoritas sudah sangat berumur. Ini sepertinya selaras dengan kondisi rata-rata perekonomian umat Islam di Indonesia. Yang mulai memiliki kemampuan finansial untuk antre mendaftar haji pada usia di atas 30 tahun.
Belum lagi munculnya kesadaran untuk berhaji itu kerap terlambat. Kadang ada yang baru antre mendaftar haji pada usia-usia menjelang pensiun, katakanlah 50 tahun. Dengan masa tunggu yang panjang, maka mereka baru bisa melaksanakan ibadah haji saat sudah benar-benar tua.
Selama dua tahun terakhir, pemerintah Arab Saudi tidak membuka negaranya untuk penyelenggaraan ibadah haji. Maka, antrean masa tunggu itu semakin panjang. Khususnya untuk provinsi yang persentase jumlah pendaftarnya sangat tinggi jika dibandingkan dengan kuota wilayahnya.
Apalagi jika melihat estimasi waiting list jamaah haji di website resmi kementerian agama. Rasanya, mustahil para lansia bisa melaksanakan ibadah haji dengan mendaftar secara reguler. Pasalnya data masa tunggu itu didasarkan pada kuota tahun ini yang hanya 48 persen dari kuota normal. Karena itulah, masa tunggu menjadi membengkak dua kali lipat.
Misalnya antrean untuk jamaah haji Jatim yang tiba-tiba menjadi 69 tahun. Padahal kalau dengan kuota normal seperti sebelum pandemi, masa antre untuk Jatim diestimasikan sekitar 32 tahun. Mudah-mudahan tahun depan dan seterusnya, kuota bisa kembali normal.
Faktor kesehatan dan keselamatan jamaah menjadi pertimbangan pemerintah Arab Saudi dalam membuat kebijakan larangan berangkat bagi jamaah lansia. Untuk saat ini, larangan itu masih terkait dengan rentannya lansia terhadap dampak Covid-19. Mudah-mudahan larangan itu bisa dicabut jika Covid-19 sudah benar-benar tidak lagi berbahaya.
Apalagi, pemerintah Indonesia sudah sangat terbiasa memberangkatkan jamaah haji lansia dengan segala risiko dan kerja keras yang harus dihadapi. Dalam setiap pembekalan petugas haji, Kementerian Agama selalu menekankan pentingnya kesigapan dalam melayani para jamaah, khususnya lansia.
Saya pernah tergabung dalam Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) tahun 2016 dan menyaksikan betapa layanan terhadap jamaah lansia harus benar-benar ekstra. Sebab, ibadah haji membutuhkan pengerahan kekuatan fisik, konsentrasi, dan kesabaran yang luar biasa. Sementara pada lansia, hal-hal semacam itu sudah sangat berkurang.
Contoh paling sederhana, saat mereka mendapat kesempatan berada di Madinah selama 9 hari. Mayoritas berusaha keras untuk bisa salat lima waktu di Masjid Nabawi selama delapan hari penuh. Bagi jamaah muda dan sehat mungkin tidak masalah. Tapi bagi jamaah lansia, itu bisa menjadi sangat berisiko.
Tiap siang hingga malam, petugas haji harus mengantar puluhan bahkan ratusan jamaah lansia yang tersesat dan tidak bisa kembali ke hotel selepas beribadah di Masjid Nabawi. Tak terhitung sudah berapa sandal mereka yang hilang. Kalau hilangnya malam tidak apa-apa. Kalau hilang selepas salat duhur, itu yang sangat bahaya. Nekat pulang tanpa menggunakan sandal, akhirnya berakhir di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) dengan telapak kaki melepuh.
Ada juga jamaah lansia yang pulang salat subuh dan terlepas dari kelompoknya. Jamaah perempuan itu akhirnya dinyatakan hilang. Dua hari kemudian dia ditemukan sudah meninggal dalam kondisi duduk, beberapa ratus meter dari kompleks Masjid Nabawi.
Klinik Kesehatan Haji Indonesia di Makkah juga nyaris tidak pernah sepi dari pasien. Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) di sana bekerja keras untuk membuat para jamaah bisa mengikuti prosesi ibadah haji secara keseluruhan. Meski demikian, selalu saja ada puluhan jamaah lansia yang harus opname dan melewatkan rangkaian ibadah haji dengan terbaring di atas ranjang klinik.
Rasanya tak tega melihat mereka hanya bisa menjalani safari wukuf. Terbaring di dalam bus dan hanya sesaat dibawa ke Padang Arafah pada saat jamaah haji lain khusyuk berdoa di tempat yang sama. Kadang para lansia itu kesulitan saat menaiki bus, bahkan harus diangkat, dan terus menerus menggunakan diapers.
Belum lagi ketika menjalani prosesi bermalam di udara terbuka di Muzdalifah. Kemudian melempar jumrah yang harus didahului dengan berjalan kaki sepanjang lebih dari 4 kilometer dari maktab di Mina menuju jamarat. Semua membutuhkan energi ekstra dan daya tahan tubuh yang prima.
Data kematian jamaah haji Indonesia 2019 pada hari terakhir pemulangan dari tanah suci tercatat mencapai 450 orang. Tim kesehatan haji kala itu mengidentifikasi, kematian terbanyak karena faktor kelelahan atau fatigue death. Jamaah lansia sangat berisiko mengalami kejadian semacam itu apabila memiliki penyakit bawaan, ditambah kurang asupan air dalam kondisi cuaca yang sangat panas.
Lantas, apakah lansia tidak layak untuk berhaji. Rasanya bisa kuwalat kalau kita mengambil kesimpulan seperti itu. Lansia adalah orang tua kita. Yang rela menahan untuk tidak segera berangkat haji demi menyiapkan masa depan terbaik bagi anak-anaknya.
Namun, karena larangan berangkat haji bagi lansia adalah kebijakan pemerintah Arab Saudi, kita tentu hanya bisa berdoa. Semoga larangan itu tidak berlangsung selamanya. Sembari kita menagih peran kementerian agama dalam membangun lobi yang kuat. Agar bisa mendapat toleransi pengiriman jamaah haji lansia yang sehat.
Di luar itu, kita juga perlu mengambil sisi positif dari pembatasan yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi. Utamanya dalam mengubah mindset umat Islam Indonesia yang baru berpikir tentang haji di usia senja. Sudah saatnya sekarang menabung dan mendaftar haji sejak belia. Bila perlu mari berhitung. Seandainya antrean ibadah haji adalah 32 tahun, maka idealnya sudah mulai mendaftar atau menyiapkan dana sejak usia 10 tahun.
Tentu itu dengan syarat kemampuan finansial dan manajemen keuangan keluarga yang mencukupi. Kalau tidak mampu, ya tidak usah memaksa. Toh dalam ibadah haji itu ada isthitaah sebagai salah satu syarat wajib. Yakni mampu secara fisik (kekuatan dan kesehatan), mampu secara harta (biaya perjalanan dan bekal materi, termasuk bagi keluarga yang ditinggal berhaji), serta mampu secara pengetahuan.
Semoga kita tidak terlambat melakukannya. (*)