RADAR MALANG – Ron Funches, komedian stand-up berkulit hitam asal Amerika Serikat, pernah mencetuskan satu lelucon. Empat tahun lalu, dia bercerita begini: Di dunia ini begitu banyak teori konspirasi tentang penguasa. Dia mempertanyakan orang-orang yang tidak percaya pada satu pun teori konspirasi tersebut. Dengan nada sugestif, Ron pun berstatemen, ”Beneran kamu tidak percaya satu pun teori konspirasi?”
Dia kemudian membuat sebuah perumpamaan. Pemerintah Amerika Serikat seperti bapak yang diberi tanggung jawab mengasuh dan merawat jutaan rakyat Amerika. Ron adalah seorang bapak yang diberi tanggung jawab mengasuh dan merawat satu anak. Punchline dari Ron pun sungguh menarik. ”Bahkan aku yang punya satu anak saja, aku membohonginya setiap saat,” kata dia.
Gerr. Para penontonnya tertawa ngakak. Sugesti Ron adalah pemerintah AS tidak sepenuhnya jujur kepada masyarakatnya. Itu menjadi premis yang masuk akal dan menggelitik. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan, berkata jujur apa adanya tentang semua hal? Apalagi di dalam negara tersebut, ada oposisi.
Jika Republikan berkuasa, maka Demokrat akan getol memburu kesalahan rezim. Pun, sekarang ini, saat Joe Biden memerintah, Republikan mencari setiap celah untuk bisa menyerang. Pemerintah AS bicara jujur 100 persen? Bisa dilalap dan ditelan bulat-bulat oposisi.
Sekarang, coba kita bandingkan kesimpulan Ron tentang kebohongan pemerintah AS dengan tiga kalimat berikut ini. Pemerintah AS selalu jujur kepada masyarakat. Pemerintah AS terbuka, transparan, dan tidak pernah memanipulasi informasi. Pemerintah AS tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengendalikan opini publik. Percaya?
Kita yang hidup di negeri Konoha, sungguh bisa relate dengan jokes dari Ron Funches. Tawa saya atas jokes Ron pun seperti cermin. Betapa banyak hal tersembunyi dari semua peristiwa penting di negeri ini. Contohnya, kejadian perusakan Kantor Arema FC, beberapa pekan lalu. Entah kenapa peristiwa itu membuat saya ingat jokes dari Ron Funches ini.
Ketika demonstrasi yang harusnya damai berubah jadi rusuh, saya jadi berprasangka buruk. Saya pun berteori konspirasi. Ada yang memang ingin demo itu berakhir ricuh. Ada yang memang berupaya membenturkan sesama Arek Malang. Apakah yang demo warga Malang? Ya. Lalu, apakah yang kena pukul dan jadi korban di depan Kantor Arema juga warga Malang? Masih iya.
Maka, saya mencurigai, ada upaya membenturkan sesama warga Malang layaknya lato-lato. Karena, diakui atau tidak, kejadian ini menjadi pengalih perhatian publik atas isu yang lebih penting. Yaitu, mencari keadilan bagi 135 nyawa yang melayang. Sejak kejadian 1 Oktober 2022 sampai hari ini, terlalu banyak distraksi.
Harapan-harapan palsu yang dialami Mas Devi Athok memperjuangkan dua buah hatinya. Hasil otopsi yang nge-prank seluruh pejuang tragedi Kanjuruhan. Serta, banyak distraksi lain yang memicu kecurigaan saya. Tujuannya satu, melemahkan semangat. Membuat silent majority tunduk. Maka, beberapa hari setelah kejadian, saya pun curhat di salah satu grup wartawan peliput berita Arema. Kira-kira begini curhatan saya.
Siapa pun aktor intelektualnya, sudah sukses mendegradasi semangat masyarakat dalam berdoa dan mendukung keluarga korban memperjuangkan 135 nyawa. Cara yang dipakai adalah dengan mengadu domba sesama warga Malang. Juga dengan mengalihkan perhatian, dari upaya mencari keadilan, menjadi perselisihan antar Arek Malang.
Tujuan akhirnya satu, jangan sampai kematian 135 suporter mempersatukan warga Malang. Dan memang, kesatuan Arek Malang adalah hal yang ditakuti aktor intelektual yang sampai sekarang belum ketemu. Kejadian 135 meninggal dan ribuan luka serta trauma, sebenarnya adalah momen termahal. Mahal karena peristiwa ini tidak bisa dan tidak boleh diulang lagi. Mahal karena memang hanya martir-martir ini juga yang bisa menyatukan semua Arek Malang. Mimpi organisasi resmi suporter untuk kali pertama di Malang pun berkobar.
Namun, gagasan kesatuan Arek Malang kontraproduktif dengan apa pun agenda dari aktor intelektual di balik peristiwa ini. Belanda sudah memberi contoh baik cara adu domba yang tepat. Devide et impera. Divide and conquer. Momen 135 nyawa untuk martir kesatuan Arek Malang menjadi sia-sia dan tidak bisa terwujud. Ini terjadi karena ego, nirempati dan kerakusan sejumlah pihak.
Maka, ini teori konspirasi yang saya ajukan. Ada yang diuntungkan karena lato-lato sesama Arek Malang ini. Dan yang diuntungkan karena merosotnya spirit #usuttuntas, saya rasa itulah aktor intelektualnya. Sebab, gaung Tragedi Kanjuruhan makin lama kian adem. Entah kenapa, spirit kota yang dulu membara memburu keadilan, kini suam. Apakah ini tujuan utama aktor intelektual di balik lato-lato Wong Malang?
Mereduksi kesatuan, mengalihkan perhatian massa, dan memaksa publik move-on? Mari merenung dan berkaca pada diri sendiri, jujur dan apa adanya menilai. Apakah teori konspirasi saya ini benar? Bisa iya bisa tidak, wong ini cuma teori konspirasi.
Tetapi, terlepas dari teori konspirasi ini, marilah bertanya pada diri. Masih adakah nurani dalam hati, berempati pada nyawa-nyawa yang sudah pergi? Masih adakah dalam diam kita, secercah simpati dan nyala api? Atau ternyata kita sudah hipokrit, menjadi kebas dan tidak peduli lagi? (*)