22 C
Malang
Sunday, 4 June 2023

Ancaman Baru Bank Digital

 

APAKAH Anda sudah terhubung dengan mobile banking saat ini? Jika sudah, maka manfaatkan layanan perbankan itu sebagai adaptasi. Namun apabila belum memiliki, maka secepatnya bisa belajar menggunakan produk perbankan tersebut yang bisa diakses di ponsel pintar (smartphone).

Tentu ini bukan promosi atau ajakan yang memaksa, melainkan kini ada pergeseran pola perbankan. Sejak 2016, sejumlah bank konvensional yang kita pakai perlahan melakukan digitalisasi produk. Transfer uang hingga membayar cicilan kini tinggal menggunakan ponsel. Tak perlu antre lama di bank seperti dulu.

Kemajuan teknologi di semua sektor jadi tuntutan perbankan untuk mengubah pola lama. Peran teller dan customer service ke depan bisa saja tergantikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan sudah memprediksi ke depan bank konvensional perlahan tergantikan.

Salah satunya ke depan tak ada lagi kantor cabang, semua bisa dikendalikan di satu tempat yakni kantor pusat. Dengan begitu, biaya operasional bisa dikepras. Istilahnya bisa efisiensi biaya dan perbankan bisa fokus memaksimalkan layanan digital.

Tak ayal sejumlah bank digital seperti Bank Jago hingga DigiBank mulai dipakai masyarakat. Dua bank tersebut memang tidak memiliki kantor cabang seperti bank konvensional pada umumnya. Hanya ada satu kantor, yakni kantor pusat. Inilah yang mungkin ke depan jadi ancaman baru bagi bank konvensional.

Tidak adanya kantor cabang menjadi kesulitan nasabah untuk sekadar tanya atau bahkan komplain. Selain itu, untuk mencairkan uang saja pasti bakal kesulitan. Lantaran mesin ATM jarang digunakan dan uang yang dipinjam hanya dikirim melalui transfer ke rekening nasabah.

Ada untung dan rugi dengan keberadaan bank digital. Keuntungannya semua uang yang kita miliki aman dari pencurian. Bahkan uang palsu dapat ditekan peredarannya. Di sisi lain juga mendukung upaya pemerintah menggalakkan pembayaran nontunai atau cashless.

Tapi juga ada sisi ruginya. Mulai dari rawan diretas oleh oknum tak bertanggung jawab. Sebab, saat awal pendaftaran atau pembukaan rekening semua identitas terekam dalam data bank digital. Parahnya, bagi orang yang pelupa atau terkena musibah ponsel hilang harus bersabar. Sebab potensi pencurian data jadi semakin mudah.

Di samping itu juga potensi aplikasi mengalami kendala atau eror patut jadi perhatian. Seperti yang dialami Bank Syariah Indonesia (BSI) pada Senin lalu. Butuh setidaknya lima hari layanan mobile baru bisa diakses nasabah. Itu masih kasus bank konvensional yang memiliki produk digital, apalagi pada bank digital yang sudah lebih mumpuni. Potensi eror pasti lebih besar mengancam.

Kemajuan teknologi yang semakin maju saat ini bisa meningkatkan angka kriminalitas di dunia maya. OJK tentu sudah punya aturan jelas dan tugas untuk menyikapi hal ini. Mengingat kini pengawasan lembaga jasa keuangan (LJK) tak hanya sekadar pada perusahaan pinjaman online (pinjol) saja.

OJK juga punya tugas mengawasi keberadaan bank digital. Sama seperti pinjol, bank digital juga harus terdaftar di OJK. Jika tidak, maka nasabah yang bakal dirugikan. Tak jauh berbeda dengan pinjol ilegal yang marak beredar saat ini. Maka masyarakat yang ingin memakai bank digital perlu memahami ini.

Maka bank konvensional yang masih eksis mau tak mau harus beradaptasi. Sebab data dari OJK menunjukkan adanya pertumbuhan bank digital baru. Dalam kurun waktu 7 tahun saja sudah ada lebih dari 11 bank digital. Artinya tiap tahun setidaknya muncul 1-2 bank digital baru.

Persaingan seperti ini tentu sah-sah saja dan tak masalah. Kebutuhan masyarakat terhadap dana segar juga semakin tinggi. Mulai untuk memenuhi kebutuhan pokok hingga kebutuhan tersier semua butuh uang. Serta satu syarat lagi, cepat dan tanpa ribet untuk mendapatkan dana segar jadi alasan sebagian orang mau menggunakan bank digital.

Tidak perlu lagi verifikasi ke bank dengan membawa berkas seperti kartu keluarga (KK) hingga surat keterangan lain. Hanya di bank digital semua bisa dipangkas. Bank konvensional lagi-lagi harus lebih berinovasi untuk menggaet nasabah. Paling tidak produk perbankan yang kini ada bisa dijangkau lebih mudah.

Pola seperti ini akan mirip seperti masa koran beberapa dekade terakhir. Perusahaan media koran sudah pernah diuji dengan keberadaan radio, televisi, hingga media siber (online). Hasilnya, sebagian dari mereka ada yang masih bertahan. Tapi ada juga terpaksa tutup karena kalah saing.

Untuk koran yang tetap eksis, justru masih menjadi pembeda di era perkembangan teknologi. Salah satunya adalah konvergensi media atau memadukan antara cetak dengan online. Hanya dengan cara itu bisa bertahan.

Sama dengan bank konvensional, mereka tak akan mati jika ada inovasi yang dibuat. Maka dengan adanya bank digital menjadi warna baru untuk dunia perbankan. Jadi pelecut untuk bank konvensional memberikan layanan terbaik kepada nasabah.(*)

 

APAKAH Anda sudah terhubung dengan mobile banking saat ini? Jika sudah, maka manfaatkan layanan perbankan itu sebagai adaptasi. Namun apabila belum memiliki, maka secepatnya bisa belajar menggunakan produk perbankan tersebut yang bisa diakses di ponsel pintar (smartphone).

Tentu ini bukan promosi atau ajakan yang memaksa, melainkan kini ada pergeseran pola perbankan. Sejak 2016, sejumlah bank konvensional yang kita pakai perlahan melakukan digitalisasi produk. Transfer uang hingga membayar cicilan kini tinggal menggunakan ponsel. Tak perlu antre lama di bank seperti dulu.

Kemajuan teknologi di semua sektor jadi tuntutan perbankan untuk mengubah pola lama. Peran teller dan customer service ke depan bisa saja tergantikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan sudah memprediksi ke depan bank konvensional perlahan tergantikan.

Salah satunya ke depan tak ada lagi kantor cabang, semua bisa dikendalikan di satu tempat yakni kantor pusat. Dengan begitu, biaya operasional bisa dikepras. Istilahnya bisa efisiensi biaya dan perbankan bisa fokus memaksimalkan layanan digital.

Tak ayal sejumlah bank digital seperti Bank Jago hingga DigiBank mulai dipakai masyarakat. Dua bank tersebut memang tidak memiliki kantor cabang seperti bank konvensional pada umumnya. Hanya ada satu kantor, yakni kantor pusat. Inilah yang mungkin ke depan jadi ancaman baru bagi bank konvensional.

Tidak adanya kantor cabang menjadi kesulitan nasabah untuk sekadar tanya atau bahkan komplain. Selain itu, untuk mencairkan uang saja pasti bakal kesulitan. Lantaran mesin ATM jarang digunakan dan uang yang dipinjam hanya dikirim melalui transfer ke rekening nasabah.

Ada untung dan rugi dengan keberadaan bank digital. Keuntungannya semua uang yang kita miliki aman dari pencurian. Bahkan uang palsu dapat ditekan peredarannya. Di sisi lain juga mendukung upaya pemerintah menggalakkan pembayaran nontunai atau cashless.

Tapi juga ada sisi ruginya. Mulai dari rawan diretas oleh oknum tak bertanggung jawab. Sebab, saat awal pendaftaran atau pembukaan rekening semua identitas terekam dalam data bank digital. Parahnya, bagi orang yang pelupa atau terkena musibah ponsel hilang harus bersabar. Sebab potensi pencurian data jadi semakin mudah.

Di samping itu juga potensi aplikasi mengalami kendala atau eror patut jadi perhatian. Seperti yang dialami Bank Syariah Indonesia (BSI) pada Senin lalu. Butuh setidaknya lima hari layanan mobile baru bisa diakses nasabah. Itu masih kasus bank konvensional yang memiliki produk digital, apalagi pada bank digital yang sudah lebih mumpuni. Potensi eror pasti lebih besar mengancam.

Kemajuan teknologi yang semakin maju saat ini bisa meningkatkan angka kriminalitas di dunia maya. OJK tentu sudah punya aturan jelas dan tugas untuk menyikapi hal ini. Mengingat kini pengawasan lembaga jasa keuangan (LJK) tak hanya sekadar pada perusahaan pinjaman online (pinjol) saja.

OJK juga punya tugas mengawasi keberadaan bank digital. Sama seperti pinjol, bank digital juga harus terdaftar di OJK. Jika tidak, maka nasabah yang bakal dirugikan. Tak jauh berbeda dengan pinjol ilegal yang marak beredar saat ini. Maka masyarakat yang ingin memakai bank digital perlu memahami ini.

Maka bank konvensional yang masih eksis mau tak mau harus beradaptasi. Sebab data dari OJK menunjukkan adanya pertumbuhan bank digital baru. Dalam kurun waktu 7 tahun saja sudah ada lebih dari 11 bank digital. Artinya tiap tahun setidaknya muncul 1-2 bank digital baru.

Persaingan seperti ini tentu sah-sah saja dan tak masalah. Kebutuhan masyarakat terhadap dana segar juga semakin tinggi. Mulai untuk memenuhi kebutuhan pokok hingga kebutuhan tersier semua butuh uang. Serta satu syarat lagi, cepat dan tanpa ribet untuk mendapatkan dana segar jadi alasan sebagian orang mau menggunakan bank digital.

Tidak perlu lagi verifikasi ke bank dengan membawa berkas seperti kartu keluarga (KK) hingga surat keterangan lain. Hanya di bank digital semua bisa dipangkas. Bank konvensional lagi-lagi harus lebih berinovasi untuk menggaet nasabah. Paling tidak produk perbankan yang kini ada bisa dijangkau lebih mudah.

Pola seperti ini akan mirip seperti masa koran beberapa dekade terakhir. Perusahaan media koran sudah pernah diuji dengan keberadaan radio, televisi, hingga media siber (online). Hasilnya, sebagian dari mereka ada yang masih bertahan. Tapi ada juga terpaksa tutup karena kalah saing.

Untuk koran yang tetap eksis, justru masih menjadi pembeda di era perkembangan teknologi. Salah satunya adalah konvergensi media atau memadukan antara cetak dengan online. Hanya dengan cara itu bisa bertahan.

Sama dengan bank konvensional, mereka tak akan mati jika ada inovasi yang dibuat. Maka dengan adanya bank digital menjadi warna baru untuk dunia perbankan. Jadi pelecut untuk bank konvensional memberikan layanan terbaik kepada nasabah.(*)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru