HARI-HARI ini, sebagian pelajar kelas XII SMA dan yang sederajat sedang fokus menentukan pendidikan lanjutan. Mereka adalah pelajar yang masuk kategori eligible atau memenuhi syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur prestasi. Tahun ini, jalur itu disebut dengan istilah Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP).
Di usia yang masih terbilang remaja, mayoritas calon mahasiswa cenderung belum memiliki arah pasti tentang pendidikan yang ingin mereka tempuh. Masih perlu pendampingan guru dan orang tua. Persepsi kebanyakan pelajar tentang pendidikan tinggi tak lebih dari sebatas alur belajar saja. Belum sampai pada persiapan yang serius menuju dunia kerja.
Maka, tak sedikit dari mereka yang merasa salah jurusan ketika sudah beberapa semester menjalani kuliah. Ada yang terpaksa melanjutkan hingga lulus. Ada yang memutuskan ndobel kuliah di perguruan tinggi lain, dengan program pendidikan yang berbeda. Ada pula yang berhenti, kemudian mengulangi pendaftaran ke program pendidikan yang dirasa lebih cocok.
Permasalahan semacam itu ibarat bola salju. Semakin lama menggelinding, semakin besar pula kualitas persoalan yang muncul di masa mendatang. Utamanya ketika para mahasiswa itu sudah menyandang gelar sarjana. Ilmu yang mereka dapatkan kerap tidak linier dengan yang dibutuhkan dunia kerja.
Sembilan tahun lalu (2015), International Labour Organization (ILO) pernah membuat laporan tren tenaga kerja dan sosial di Indonesia. Laporan itu menyebutkan, sekitar 56 persen pekerja di Indonesia memiliki ketidakcocokan antara pekerjaan dengan keterampilan dari pendidikan tinggi yang mereka tamatkan.
Setahun berikutnya, survei angkatan kerja nasional yang diolah Lembaga Demografis Universitas Indonesia masih menunjukkan hal serupa. Horizontal mismatch atau ketidaksesuaian kualifikasi pekerjaan dengan latar pendidikan mencapai 60,52 persen.
Lalu, pada awal November 2021, Menteri Pendidikan, kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyebut hanya 20 persen lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya. Boleh dibilang, problem dunia pendidikan dalam menyiapkan lulusan yang sesuai dengan permintaan dunia kerja masih menjadi pekerjaan rumah yang serius.
Kondisi itu pula yang selalu merepotkan dunia kerja (perusahaan) dalam merekrut karyawan baru. Utamanya fresh graduate dari perguruan tinggi. Tidak ada yang langsung siap kerja. Dalam pekerjaan tertentu, mereka harus berbulan-bulan belajar lagi dan melakukan penyesuaian untuk mencapai standar yang diinginkan perusahaan.
Kondisi itu belum ditambah dengan karakteristik generasi muda saat ini yang akrab dengan label milenial. Generasi yang dikenal memiliki multitasking, namun enggan berproses dan lebih gampang stress. Kerap ditemui dalam proses wawancara kerja, lulusan perguruan tinggi yang tergolong generasi milenial itu melamar tanpa persiapan.
Tanpa tahu pekerjaan apa yang akan mereka lakukan. Hanya sebatas menawarkan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Kalau mau silakan diambil. Kalau tidak silakan ditolak.
Rangkaian problem di atas sebenarnya bisa diselesaikan oleh lembaga pendidikan. Ketika pelajar memasuki tingkat akhir pendidikan SMA, mereka sudah perlu pengenalan tentang program pendidikan di perguruan tinggi dan jenis pekerjaan yang terkait. Sehingga, ketika hari-hari ini para siswa eligible memilih program studi di PTN melalui jalur prestasi, mereka sudah bisa membayangkan pekerjaan yang akan ditekuni di masa mendatang.
Apresiasi perlu disematkan kepada perguruan tinggi yang terus berusaha menyesuaikan kurikulum mereka dengan permintaan dunia kerja. Begitu juga dengan program internship. Magang dalam rentang waktu yang cukup lama akan sangat membantu para mahasiswa untuk mendekat dengan dunia kerja. Sayang, sampai saat ini masih banyak mahasiswa yang menganggap magang sebatas penuntasan kewajiban. Bukan sarana untuk memperpendek masa tunggu setelah lulus dengan dunia kerja.
Kesimpulannya, ada dua pekerjaan rumah bagi lembaga pendidikan dalam menyiapkan lulusan yang lebih mudah terserap dunia kerja. Selain kurikulum yang cocok dengan permintaan dunia kerja, juga memperbaiki persepsi mayoritas pelajar maupun mahasiswa tentang pendidikan tinggi. Jangan lagi sebatas menjadi tahap akhir pendidikan yang sekadar harus dilalui. Kemudian setelah selesai malah tidak terserap dunia kerja, Bahkan menambah tumpukan angka pengangguran.
Mungkin jauh lebih baik, satu atau dua tahun sebelum lulus, mahasiswa sudah benar-benar terkoneksi dengan dunia kerja yang mereka minati. Entah itu menjadi bagian dari sebuah perusahaan ataupun  dunia wirausaha. Koneksi itu tidak boleh terputus, sehingga benar-benar menjadi jembatan riil bagi lembaga pendidikan tinggi dengan dunia kerja. (*)