24.2 C
Malang
Sunday, 26 March 2023

Parkir Touristable

Kenangan pahit itu belum hilang da­lam ingatan. Padahal su­dah sekitar tujuh ta­hun lalu. Yakni saat me­markir ken­da­­raan di salah satu su­dut Kota Batu. Begitu akan me­ngambil ken­­daraan, tiba-tiba da­­tang sesosok pria yang kurang ramah dan dengan kasar bilang: ”Bayar parkir Rp 10 ribu.” Tentu saja saya kaget. Bukan hanya karena sikapnya yang sama sekali tidak ramah, tapi juga tarifnya yang terbilang mencekik kantong. Semahal-mahalnya tarif parkir, kalau untuk ukuran roda empat, paling banter Rp 5.000. Itu pun konsumen mengasihkan duit dengan nggrundel. Apalagi oknum juru parkir (jukir) tersebut layaknya siluman. Saat kendaraan datang ke lokasi parkir, si oknum jukir tidak ada di tempat. Namun begitu kendaraan akan meninggalkan lokasi, tiba-tiba ada suara sempritan dan meminta uang parkir. Rasanya seperti gimana. Menolak bayar takut dimarahi, ngasih duit itu seperti berat hati. Akhirnya, ya dikasih saja meskipun tidak ikhlas. Anda pernah merasakan seperti ini kah?

Pengalaman tak mengenakkan juga pernah saya alami di Kota Malang. Kali ini juga oknum jukir siluman. Saat kendaraan mau parkir, tidak ada jukir. Namun saat kendaraan akan pergi, tiba-tiba muncul orang yang minta duit parkir. Padahal kendaraan juga berhenti tidak lama. Sebagai konsumen jasa, tentu hati ini jengkel. Bukan soal berapa nilai nominalnya, tapi sikap yang diberikan oknum jukir yang sulit diterima. Beginikah cara pengelolaan parkir di Malang Raya yang dikenal sebagai kawasan wisata.

Saya yakin, pengalaman itu juga banyak dialami orang lain. Bahkan tidak sedikit orang luar kota yang mengalami hal serupa. Ini kelihatannya perkara sepele. Namun akan berdampak serius ke depannya.

Hampir di semua kota, problem perparkiran memang cenderung ruwet belum ada ujung. Namun jika semua pihak yang berwenang serius membenahi, menata dan mengedukasi, setidaknya pelayanan perparkiran akan lebih baik. Sebagai kawasan berbasis wisata, di Malang Raya harusnya lebih serius memberi perhatian pada pengelolaan jasa parkir. Karena ini juga menyangkut etalase sebuah kota. Bisa dibayangkan, ketika ada wisatawan yang mendapat layanan buruk jasa parkir (entah jukir tak ramah atau narik tarif di luar kewajaran), jangan harap wisatawan mau kembali. Tentu wisatawan itu akan cerita kepada saudara, teman atau tetangganya tentang pengalaman buruknya tersebut. Dampaknya, banyak orang enggan datang ke Malang Raya hanya gara-gara oknum jukir tak bertanggung jawab.

Kalau pemerintah daerah di Malang Raya komitmen menjadikan wisata sebagai salah satu pendongkrak pendapatan asli daerah, jangan abaikan urusan parkir. Bahkan kalau perlu, penataan mulai hulu sampai hilir harus serius dilakukan. Termasuk perlu ada evaluasi soal tarif parkir yang terkesan kurang touristable (ramah pada wisatawan).

Untuk urusan tarif parkir, boleh lah pemda di Malang Raya belajar ke Jogjakarta. Di daerah istimewa tersebut, sebagian kawasan masih menggunakan tarif parkir sangat murah untuk kawasan II. Motor hanya Rp 1.000 dan mobil Rp 2.000. Dan itu dituangkan dalam Perda No 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum. Ini sekelas kota sebesar Jogjakarta saja, masih menggunakan tarif parkir yang begitu merakyat. Karena Jogjakarta menyadari, kotanya adalah jujukan wisatawan sehingga tarif parkirnya harus ramah bagi kantong wisatawan.

ARIF MURAH: Papan info tarif jasa parkir di kawasan Jalan Sukonandi Kota Jogjakarta yang difoto pekan lalu. (abdul muntholib/radar malang)

Sementara di Malang Raya, tarif retribusi parkir pun masih flat. Sama rata. Minimal Rp 2.000 untuk motor. Belum ada zonasi. Pembinaan jukir memang sudah dilakukan Pemkot Malang dua bulan lalu. Namun itu masih sebatas kulit. Belum menyentuh pada substansialnya. Sehingga perlu ada pembinaan yang berkesinambungan sampai masyarakat merasakan jika layanan jasa parkir sudah bisa melegakan.

Dari sudut PAD, raihan retribusi parkir juga belum terlalu menggembirakan. Misalnya di Kota Malang, pada 2019, target Rp 9, 3 miliar, realisasinya hanya Rp 7,5 miliar. Target turun drastis di tahun 2020 dengan hanya Rp 3,9 miliar dengan realisasi Rp 4,6 miliar. Sebenarnya, kalau ada kajian mendalam tentang potensi pendapatan retribusi parkir, perolehan riil bisa puluhan miliar. Hanya saja, belum ada lembaga yang bisa menyajikan data potensi pendapatan yang sesungguhnya.

Melihat belum maksimalnya perolehan retribusi parkir, bukan berarti boleh mengambil solusi dengan menaikkan tarif parkir. Karena berapa pun tarif parkir dinaikkan, rasanya sulit PAD akan naik drastis. Yang terjadi justru kecaman masyarakat. Dengan tarif yang sudah ada sekarang ini saja rasanya sudah memberatkan (jika dibandingkan dengan Jogja), apalagi sampai dinaikkan.

Oke, kalau pun tarif belum bisa turun, setidaknya pembinaan pada jukir tak boleh henti. Mereka sebenarnya ”humas” sebuah kota. Karena ketika ada orang luar kota yang datang, kebanyakan mendapat layanan dari jukir. Kesan pertama terhadap jukir itulah yang kerap dikenang. Begitu pula untuk para jukir, sesungguhnya tugasnya cukup mulia. Itu jika memberikan pelayanan yang menyenangkan. Memberi senyuman, ramah, dan menarik sesuai tarif dan prosedur. Sehingga wisatawan akan merasa nyaman dan tidak kapok datang ke Malang Raya. (Ig: abdulmuntholib14)

Kenangan pahit itu belum hilang da­lam ingatan. Padahal su­dah sekitar tujuh ta­hun lalu. Yakni saat me­markir ken­da­­raan di salah satu su­dut Kota Batu. Begitu akan me­ngambil ken­­daraan, tiba-tiba da­­tang sesosok pria yang kurang ramah dan dengan kasar bilang: ”Bayar parkir Rp 10 ribu.” Tentu saja saya kaget. Bukan hanya karena sikapnya yang sama sekali tidak ramah, tapi juga tarifnya yang terbilang mencekik kantong. Semahal-mahalnya tarif parkir, kalau untuk ukuran roda empat, paling banter Rp 5.000. Itu pun konsumen mengasihkan duit dengan nggrundel. Apalagi oknum juru parkir (jukir) tersebut layaknya siluman. Saat kendaraan datang ke lokasi parkir, si oknum jukir tidak ada di tempat. Namun begitu kendaraan akan meninggalkan lokasi, tiba-tiba ada suara sempritan dan meminta uang parkir. Rasanya seperti gimana. Menolak bayar takut dimarahi, ngasih duit itu seperti berat hati. Akhirnya, ya dikasih saja meskipun tidak ikhlas. Anda pernah merasakan seperti ini kah?

Pengalaman tak mengenakkan juga pernah saya alami di Kota Malang. Kali ini juga oknum jukir siluman. Saat kendaraan mau parkir, tidak ada jukir. Namun saat kendaraan akan pergi, tiba-tiba muncul orang yang minta duit parkir. Padahal kendaraan juga berhenti tidak lama. Sebagai konsumen jasa, tentu hati ini jengkel. Bukan soal berapa nilai nominalnya, tapi sikap yang diberikan oknum jukir yang sulit diterima. Beginikah cara pengelolaan parkir di Malang Raya yang dikenal sebagai kawasan wisata.

Saya yakin, pengalaman itu juga banyak dialami orang lain. Bahkan tidak sedikit orang luar kota yang mengalami hal serupa. Ini kelihatannya perkara sepele. Namun akan berdampak serius ke depannya.

Hampir di semua kota, problem perparkiran memang cenderung ruwet belum ada ujung. Namun jika semua pihak yang berwenang serius membenahi, menata dan mengedukasi, setidaknya pelayanan perparkiran akan lebih baik. Sebagai kawasan berbasis wisata, di Malang Raya harusnya lebih serius memberi perhatian pada pengelolaan jasa parkir. Karena ini juga menyangkut etalase sebuah kota. Bisa dibayangkan, ketika ada wisatawan yang mendapat layanan buruk jasa parkir (entah jukir tak ramah atau narik tarif di luar kewajaran), jangan harap wisatawan mau kembali. Tentu wisatawan itu akan cerita kepada saudara, teman atau tetangganya tentang pengalaman buruknya tersebut. Dampaknya, banyak orang enggan datang ke Malang Raya hanya gara-gara oknum jukir tak bertanggung jawab.

Kalau pemerintah daerah di Malang Raya komitmen menjadikan wisata sebagai salah satu pendongkrak pendapatan asli daerah, jangan abaikan urusan parkir. Bahkan kalau perlu, penataan mulai hulu sampai hilir harus serius dilakukan. Termasuk perlu ada evaluasi soal tarif parkir yang terkesan kurang touristable (ramah pada wisatawan).

Untuk urusan tarif parkir, boleh lah pemda di Malang Raya belajar ke Jogjakarta. Di daerah istimewa tersebut, sebagian kawasan masih menggunakan tarif parkir sangat murah untuk kawasan II. Motor hanya Rp 1.000 dan mobil Rp 2.000. Dan itu dituangkan dalam Perda No 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum. Ini sekelas kota sebesar Jogjakarta saja, masih menggunakan tarif parkir yang begitu merakyat. Karena Jogjakarta menyadari, kotanya adalah jujukan wisatawan sehingga tarif parkirnya harus ramah bagi kantong wisatawan.

ARIF MURAH: Papan info tarif jasa parkir di kawasan Jalan Sukonandi Kota Jogjakarta yang difoto pekan lalu. (abdul muntholib/radar malang)

Sementara di Malang Raya, tarif retribusi parkir pun masih flat. Sama rata. Minimal Rp 2.000 untuk motor. Belum ada zonasi. Pembinaan jukir memang sudah dilakukan Pemkot Malang dua bulan lalu. Namun itu masih sebatas kulit. Belum menyentuh pada substansialnya. Sehingga perlu ada pembinaan yang berkesinambungan sampai masyarakat merasakan jika layanan jasa parkir sudah bisa melegakan.

Dari sudut PAD, raihan retribusi parkir juga belum terlalu menggembirakan. Misalnya di Kota Malang, pada 2019, target Rp 9, 3 miliar, realisasinya hanya Rp 7,5 miliar. Target turun drastis di tahun 2020 dengan hanya Rp 3,9 miliar dengan realisasi Rp 4,6 miliar. Sebenarnya, kalau ada kajian mendalam tentang potensi pendapatan retribusi parkir, perolehan riil bisa puluhan miliar. Hanya saja, belum ada lembaga yang bisa menyajikan data potensi pendapatan yang sesungguhnya.

Melihat belum maksimalnya perolehan retribusi parkir, bukan berarti boleh mengambil solusi dengan menaikkan tarif parkir. Karena berapa pun tarif parkir dinaikkan, rasanya sulit PAD akan naik drastis. Yang terjadi justru kecaman masyarakat. Dengan tarif yang sudah ada sekarang ini saja rasanya sudah memberatkan (jika dibandingkan dengan Jogja), apalagi sampai dinaikkan.

Oke, kalau pun tarif belum bisa turun, setidaknya pembinaan pada jukir tak boleh henti. Mereka sebenarnya ”humas” sebuah kota. Karena ketika ada orang luar kota yang datang, kebanyakan mendapat layanan dari jukir. Kesan pertama terhadap jukir itulah yang kerap dikenang. Begitu pula untuk para jukir, sesungguhnya tugasnya cukup mulia. Itu jika memberikan pelayanan yang menyenangkan. Memberi senyuman, ramah, dan menarik sesuai tarif dan prosedur. Sehingga wisatawan akan merasa nyaman dan tidak kapok datang ke Malang Raya. (Ig: abdulmuntholib14)

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru