RABU, 20 April 2022, Jawa Pos Radar Malang, menerbitkan liputan khusus tentang ”bisnis hitam” dokumen Covid-19 jelang Lebaran. Isinya memaparkan fakta tentang adanya oknum yang bisa membuat sertifikat vaksin Covid-19 untuk orang lain tanpa harus divaksin. Mereka juga menawarkan jasa pembuatan surat keterangan hasil tes negatif PCR atau pun swab antigen. Tarifnya antara Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu.
Cukup menggiurkan jika pemesannya bisa sampai ratusan orang. Apalagi sertifikat itu bisa dibilang ”asli” lantaran terdata di aplikasi PeduliLindungi.
Keputusan pemerintah yang menjadikan sertifikat vaksin Covid-19 dosis 3 atau booster sebagai syarat mudik turut membantu kembali maraknya bisnis ilegal tersebut. Bisnis itu sempat mereda saat pemerintah sudah tidak lagi membatasi mobilitas antardaerah.
Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia sudah mendapatkan vaksin dosis kedua. ”Iklan” jual beli sertifikat vaksin atau hasil tes PCR pun seolah menghilang dari media sosial.
Kini deretan iklan itu kembali bermunculan di media sosial. Terutama Facebook dan aplikasi percakapan singkat WhatsApp. Tawaran mereka bukan isapan jempol. Para penjual sertifikat vaksin itu memang bisa memanfaatkan kelemahan sistem milik pemerintah. Sehingga mereka bisa menerbitkan sertifikat vaksin Covid-19 dan terdata di aplikasi PeduliLindungi.
Situs milik Kementerian Kominfo sudah berusaha memberikan label ”disinformasi” pada iklan-iklan itu. Tapi apa boleh buat, penjelasan Kominfo itu tidak otomatis diakses semua pengguna internet maupun gadget. Apalagi penjelasannya juga tidak terlalu sinkron dengan kenyataan di lapangan. Hanya menyebutkan bahwa penawaran jasa seperti itu adalah penipuan. Karena sertifikat vaksin Covid-19 yang asli hanya bisa didapatkan jika seseorang sudah mengikuti vaksinasi.
Membendung disinformasi (informasi keliru yang sengaja disebar), misinformasi (informasi salah yang tanpa sengaja disebar), atau bahasa populernya hoax dengan cara seperti itu ibarat perang tanpa ujung. Sangat lama, dan kapan pun bisa muncul kembali. Bahkan kalangan terdidik pun kerap termakan kabar-kabar semacam itu dan memicu kegaduhan yang luas.
Contoh yang masih sangat segar adalah video singkat dengan narasi seorang ibu marah dan menggorok leher putrinya karena dibangunkan sahur. Video itu viral di media sosial dan mengundang beragam komentar. Padahal, narasi yang menyertai video itu keliru.
Sampai-sampai anak perempuan dalam video itu membuat klarifikasi. Bahwa yang terjadi adalah sebuah ketidaksengajaan. Pisau yang dipegang ibunya ketika menyiapkan sahur tanpa sengaja menggores dagu sang anak. Lukanya pun sangat kecil. Sama sekali tidak terlihat ketika sudah ditutup perban berukuran kecil pula.
Video itu ternyata direkam seorang pemuda yang melihat kegaduhan ketika sang anak menangis dan hendak dibawa ke rumah sakit. Ada suara yang menyebutkan bahwa luka itu gara-gara pisau ibunya. Tanpa bertanya lagi, pembuat video membuat narasi keliru dan mengunggahnya di media sosial.
Penyebar video berinisial MRA itu memang sudah ditangkap polisi. Setelah dilakukan mediasi, pemuda 23 tahun itu pun dipulangkan ke orang tuanya. Mungkin alasannya karena kasus yang terjadi itu adalah misinfomasi. Tapi apa pun, video dengan narasi keliru itu sudah bikin kegaduhan luar biasa di bulan Ramadan. Bahkan bikin repot aparat keamanan dan pihak keluarga yang ada dalam video.
Yang perlu dipikirkan ke depan adalah cara yang lebih efektif dalam menghadang disinformasi atau hoax. Apalagi dua tahun lagi akan diselenggarakan hajatan politik nasional. Yakni pemilu serentak. Tahun politik akan sangat rentan dengan penyebaran berita-berita hoax. Entah itu ujaran kebencian, black campaign, atau bahkan hasutan yang bisa memicu konflik horizontal.
Pelaku penyebaran hoax jelas tidak akan habis. Apalagi jika sudah menjadi ladang bisnis. Ketahuan satu, bisa jadi akan muncul seribu. Ibarat memberantas penjualan minuman keras ilegal dengan menghukum para pemilik warung, sementara pabriknya masih berdiri kukuh dan aman-aman saja. Atau menghukum pengguna narkoba, sementara tempat-tempat yang menjadi pusat peredarannya tidak diapa-apakan.
Mungkin sudah saatnya para penegak hukum memberikan tekanan kepada penyedia platform media sosial. Misalnya, jika sudah terkonfirmasi konten yang muncul di platform mereka mengandung unsur hoax, maka harus segera dihapus saat itu juga. Tidak boleh lama-lama. Jika pemilik platform menolak, bisa diberi sanksi.
Atau, pengambil kebijakan di negeri ini membuat regulasi yang bisa menghukum platform media sosial jika meloloskan munculnya konten hoax. Dengan cara itu, upaya membendung berita palsu, ujaran kebencian, hasutan, atau yang sejenisnya akan jauh lebih efektif.
Jangan biarkan siapa pun mengambil untung dengan berdagang kabar palsu. Atau melakukan penipuan dengan memanfaatkan media sosial. Jangan biarkan pula penyedia platform media sosial menjadi wadah disinformasi. Mengambil untung dengan cara yang sama lantaran tak tersentuh hukum.
Facebook pernah diguncang aksi boikot perusahaan-perusahaan besar pemasang iklan gara-gara dianggap tidak serius menekan konten ujaran kebencian di Amerika Serikat. Gara-gara aksi itu, saham Facebook melorot. Facebook akhirnya merespons aksi boikot itu dengan menetapkan batasan baru pada konten iklan. Tidak lagi boleh mengandung unsur ujaran kebencian yang memicu perpecahan, mengancam keselamatan fisik, kesehatan, dan kehidupan orang lain.
Di negara hukum seperti Indonesia, cara itu bisa dilengkapi dengan pelibatan perangkat hukum. Jangan hanya produsen hoax-nya saja yang dipidana. Penyedia fasilitas yang digunakan untuk menyebarkan hasutan, ujaran kebencian, kabar palsu, dan penipuan juga harus diminta ikut bertanggung jawab. (*)