PIDATO Presiden RI Joko Widodo yang menyebut bahwa ”pers tidak sedang baik-baik saja” merupakan tamparan, sekaligus warning bagi jurnalis.
Pernyataan yang disampaikan dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari lalu itu sebaiknya dijadikan otokritik.
Jika ingin tetap mendapatkan kepercayaan publik, insan pers perlu refleksi. Apakah epistemologi pers sudah bergeser, sehingga tidak sedang baik-baik saja?
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani: episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Mulanya, epistemologi hanya mempelajari pengetahuan.
Mulai asal-usul pengetahuan, sumber pengetahuan, ruang lingkup, validitas, dan kebenaran pengetahuan. Tapi seiring perkembangan pemikiran, kajian epistemologi meluas. Setiap tokoh pemikir juga mempunyai episteme masing-masing.
Budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun menyebut, jurnalis atau insan pers adalah penerus nabi dan rasul, yakni sebagai penyampai risalah. Tugas jurnalis adalah mencari informasi, kemudian menyampaikan ke publik.
Tentu tidak sembarang informasi. Melainkan informasi yang benar dan menyangkut kepentingan publik. “Benar” dalam hal ini adalah kebenaran ranah jurnalistik. Aktual dan bersifat dinamis.
Artinya, kebenaran tersebut bisa berubah sesuai dinamika sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan kebenaran absolut yang menjadi objek pencarian filsuf.
Konon, orang pertama di dunia yang menjalankan kerja jurnalistik adalah Nabi Nuh AS pada sekitar 6.000 tahun silam. Setelah bencana banjir besar berlalu, Nuh menugaskan burung dara untuk terbang melihat keadaan.
Nuh ingin mengetahui apakah air bah sudah surut atau belum. Ketika kembali ke kapal, burung dara menceritakan hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun di permukaan air.
Dari kejadian itu, Nuh menyimpulkan bahwa air bah sudah surut. Kabar itu kemudian disampaikan kepada umatnya.
Meski Nabi Nuh disebut-sebut sebagai orang pertama yang menjalankan kerja jurnalistik, namun media sebagai wadah informasi baru muncul di zaman Julius Caesar (100-44 SM).
Informasi-informasi terkait pemerintahan maupun yang menyangkut rakyat Romawi dicantumkan dalam Acta Diurna (papan pengumuman di zaman Romawi Kuno).
Mulanya, papan itu hanya mencantumkan keputusan hukum. Kemudian fungsinya berkembang menjadi pengumuman perkawinan, kelahiran, senator, dan semua informasi terkait kepentingan publik.
Kebijakan itulah yang membuat Julius Caesar dinobatkan sebagai Bapak Pers Dunia.
Rasanya, sampai saat ini pers masih berorientasi menyuguhkan informasi publik, meski ada sebagian yang mengesampingkan kaidah tersebut.
Selain menjalankan amanah undang-undang, rasanya sulit pers bisa hidup jika mengabaikan publik. Itu karena produk jurnalistik dijual.
Mana mungkin publik mau membeli koran, majalah, maupun surat kabar lain jika informasi yang disuguhkan tidak menyangkut kepentingan publik? Kalau pun produk jurnalistik digratiskan, mungkin hanya sebagian orang saja yang mau membaca.
Sementara ”napas” media, terutama media mainstream bergantung pada oplah dan tingkat keterbacaan. Semakin tinggi oplah dan tingkat keterbacaan, tentu semakin besar dampak media tersebut.
Kaum pragmatisme berpandangan bahwa manusia hanya mau melakukan tindakan yang memberikan manfaat atau keuntungan bagi dirinya.
Dengan kata lain, orang tidak akan mau meluangkan waktu untuk membaca jika tidak ada sisi manfaat yang diperoleh dari hasil bacaan tersebut.
Tentu tantangan pers semakin berat di era disrupsi informasi ini. Pintu informasi tidak lagi dimonopoli oleh pers.
Belakangan ini banyak media sosial (medsos) yang menyuguhkan berbagai informasi, bahkan lebih cepat dibanding media mainstream.
Juga mudah, tanpa perlu mengeluarkan biaya alias gratis, orang bisa mendapatkan informasi. Orang bisa buka WhatsApp, facebook, dan Instagram kapan pun lewat gadget.
Menurut hasil penelitian terbaru Dewan Pers pada 2021 lalu, mayoritas masyarakat mengakses informasi lewat WhatsApp, yakni 22,4 persen.
Setelah itu media siber atau online sekitar 22 persen, dan Instagram 18,7 persen. Sementara radio dan koran di bawah 1 persen.
Kabar gembiranya, meski masyarakat cenderung mengakses informasi lewat medsos, tapi mereka lebih percaya kepada media mainstream.
Sebanyak 32,51 persen masyarakat mencari informasi yang akurat di media siber, sementara 18,13 persen lewat televisi, dan 8,26 persen melalui koran.
Faktor yang membuat pers masih dipercaya publik adalah, data dan fakta yang disuguhkan akurat. Selain itu, nama besar media juga turut andil mengangkat kepercayaan publik.
Faktor lain adalah narasumber. Semakin banyak dan kapabel narasumber berita, maka kepercayaan masyarakat semakin tinggi.
Jika jurnalis ingin pers baik-baik saja seperti yang diharapkan Presiden Jokowi, tentu harus mempertahankan akurasi data dan fakta.
Narasumbernya juga harus kredibel, sehingga informasi yang disampaikan akurat, benar, dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Sebaliknya, jika media mainstream turut memproduksi berita hoax, tinggal menunggu waktu saja untuk ditinggalkan pembacanya. Mau pilih yang mana? (*)