25.5 C
Jakarta
Wednesday, June 7, 2023

Thrifting dan Budaya Mengeluh

 

RADAR MALANG – Setidaknya ada tiga alasan kenapa orang melirik barang-barang bekas atau thrifting. Yang pertama karena budget minim.

Sadar bila beli barang baru membutuhkan lebih banyak uang, mereka umumnya mengalihkan perhatian kepada barang-barang bekas. Yang penting masih layak pakai, ya disikat.

Alasan kedua, ada orang-orang yang memilih style berbeda, namun budget-nya pas-pasan. Agar penampilan tetap terjaga, mereka mengalihkan perhatian kepada barang-barang bekas.

Orang-orang yang masuk kategori ini lebih perhatian terhadap kualitas, brand, dan kondisi barang bekasnya.

Alasan ketiga, ada orang-orang yang memilih barang bekas untuk bernostalgia sekaligus berinvestasi. Barang-barang vintage yang diproduksi secara terbatas biasanya menjadi buruan mereka.

Karena itu, ada satu buah kaos bekas yang dibanderol dengan harga belasan juta, namun tetap ada pembelinya.

Baca Juga : Bahaya Penyakit Kulit di Balik Thrift Shop.

Orang-orang pada kategori ketiga ini lebih peduli terhadap story dan history dari barang bekas itu. Karena itu, umumnya mereka membekali diri dengan pengetahuan.

Tidak asal ambil barang bekas. Itu jadi bagian dari perkembangan di dunia thrifting.

Menurut Jennifer Le Zotte, sejarawan dan penulis asal Amerika Serikat, tren thrifting itu mulai berkembang sejak abad 19. Di Inggris, pakaian bekas mulai banyak digunakan sejak era 1980-an.

Di Amerika Serikat, tiap 17 Agustus bahkan ada perayaan National Thrift Store Day. Di hari itu, biasanya ada diskon besar-besaran.

Di Indonesia, thrifting juga mulai menjamur di tahun 90-an. Sebutannya dulu beragam. Ada yang menyebut Dalbo, atau udal-udal kebo.

Ada juga yang menyebutnya dengan Babebo (barang bekas bos). Yang umum ya menyebutnya dengan barang second. (Bersambung ke halaman selanjutnya)

 

RADAR MALANG – Setidaknya ada tiga alasan kenapa orang melirik barang-barang bekas atau thrifting. Yang pertama karena budget minim.

Sadar bila beli barang baru membutuhkan lebih banyak uang, mereka umumnya mengalihkan perhatian kepada barang-barang bekas. Yang penting masih layak pakai, ya disikat.

Alasan kedua, ada orang-orang yang memilih style berbeda, namun budget-nya pas-pasan. Agar penampilan tetap terjaga, mereka mengalihkan perhatian kepada barang-barang bekas.

Orang-orang yang masuk kategori ini lebih perhatian terhadap kualitas, brand, dan kondisi barang bekasnya.

Alasan ketiga, ada orang-orang yang memilih barang bekas untuk bernostalgia sekaligus berinvestasi. Barang-barang vintage yang diproduksi secara terbatas biasanya menjadi buruan mereka.

Karena itu, ada satu buah kaos bekas yang dibanderol dengan harga belasan juta, namun tetap ada pembelinya.

Baca Juga : Bahaya Penyakit Kulit di Balik Thrift Shop.

Orang-orang pada kategori ketiga ini lebih peduli terhadap story dan history dari barang bekas itu. Karena itu, umumnya mereka membekali diri dengan pengetahuan.

Tidak asal ambil barang bekas. Itu jadi bagian dari perkembangan di dunia thrifting.

Menurut Jennifer Le Zotte, sejarawan dan penulis asal Amerika Serikat, tren thrifting itu mulai berkembang sejak abad 19. Di Inggris, pakaian bekas mulai banyak digunakan sejak era 1980-an.

Di Amerika Serikat, tiap 17 Agustus bahkan ada perayaan National Thrift Store Day. Di hari itu, biasanya ada diskon besar-besaran.

Di Indonesia, thrifting juga mulai menjamur di tahun 90-an. Sebutannya dulu beragam. Ada yang menyebut Dalbo, atau udal-udal kebo.

Ada juga yang menyebutnya dengan Babebo (barang bekas bos). Yang umum ya menyebutnya dengan barang second. (Bersambung ke halaman selanjutnya)

Previous article
Next article

Wajib Dibaca

Artikel Terbaru