Dimotivasi Bung Karno, 20 Tahun Lestarikan Batik untuk Hormati Leluhur
Berbekal wejangan Bung Karno, Eyang Tati mengenalkan batik khas Singosari hingga kancah internasional. Motif batiknya menonjolkan rukun iman dan Pancasila.
INDAH MEI YUNITA
AROMA lelehan malam menyeruak begitu Jawa Pos Radar Malang memasuki gedung Karang Werda Pandu Dewanata di Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang kemarin (19/3).
Di ruangan berukuran sekitar 20 meter persegi, tampak seorang nenek menuangkan malam canting di atas kain mori (kain batik). Dialah Tati Soephihajarniwati, lansia yang 20 tahun lebih melestarikan batik Singosari.
Kini, nenek berusia 91 tahun itu dipercaya menjadi pembina Karang Werda Pandu Dewanata. Masa tuanya dihabiskan dengan membatik, sekaligus mengajari para lansia membatik.
Kepiawaiannya dalam seni batik tidak diragukan lagi. Di masa tuanya, Eyang Tati menciptakan enam motif batik khas Singosari.
Tiga di antaranya telah mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) pada 2017 lalu.
Motif tersebut yakni stelasi aksesori Ken Dedes Prayitna Paramitha. Dalam stelasi, terdapat tiga motif yang disebut adi luhung, trisila, dan paripurna.
Baca Juga : Pegang Canting, Ratusan Siswa Belajar Batik.
Di dalam motif Adi Luhung terdapat satu unsur penting. Yakni pending, bermakna kekeluargaan. ”Indonesia itu big family. Mbahnya, anaknya, dan cucunya masih tinggal di rumah yang sama. To live together at home,” ujar Eyang Tati sembari membatik.
Di sela-sela menimpa sketsa menggunakan malam, perempuan asli Probolinggo itu menjelaskan makna mofit Adi Luhung. Ukiran di tengah menggambarkan kakek-nenek, sisi kanan menggambarkan anak, dan sisi kiri adalah sosok cucu.
”Maknanya, anak dan cucu harus diperlakukan sama. Agar cucu tidak bersikap buruk terhadap orang tuanya, bahkan kakek dan neneknya,” terang ibu dua anak itu.
Dia juga menjelaskan filosofi Adi Luhung yang berbentuk bunga dengan lima kelopak. ”Karena mayoritas Islam, saya memakai rukun iman sebagai landasan. Iman terhadap hari kiamat serta takdir dan qadar saya jadikan satu,” kata Eyang Tati yang mempunyai sembilan adik tersebut.
”Karena, manusia hanya bisa mengetahui takdir dan qadar. Sementara Kiamat hanya diketahui oleh Allah SWT. Namun manusia harus memercayai. Dengan begitu, motif ini juga membentuk Pancasila,” tambahnya.
Baginya, semua unsur Pancasila harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sila pertama, ketuhanan yang Maha Esa diterapkan dengan beribadah. (Bersambung ke halaman selanjutnya)